Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

SEDINI INI KITA BERPISAH

Seorang mengulosi badannya dengan harap dan doa tiap bebat Tapi bukan bayi tubuhnya Tapi melainkan menyerupai bayi ingatan dan kenangan dibikinnya sama Nun jauh di seberang pusara Seorang menggulai jiwanya dengan harap dan doa tiap sendok Biji kopi daun teh bergulat sama isi Tapi bukan bibi berdiri di pawon Mangkuk dan gelas dipilinnya beling Nun jauh di seberang pustaka Dua orang mengepung aksara Seakan kata-kata terbakar suasana Buku bagai tiada sedia Jarum jam menusuk dada dan mata Nun jauh di surga, harapan bertinggal andai UK, Desember 2014

Sedingin Ini Kita Merindu

Kau bagai ubun-ubun menyemak rimbun Melontar dahaga dan lahak asam perut Gumaman akhir petang melaras keributan pada asmara Toh, asmara hanya sebatas lempang pukang Apa daya manusia mengapit cinta? Kau bagai ubun-ubun menyemak rindu Usai kau limbang seluruh isi bumi Kesia-siaan menyeberangi lautan bahasa Toh, bahasa hanya identitas belaka Apa guna memainkan kata? Kau bagai ubun-ubun menyemak temu Tak jadikah kau kirim kabar lewat kalbu? Toh, di sini aku menyemai kelam Melewati rembang dan petang dengan kentang Sumber: Kamar Baca @andindc UK, 7 Desember 2014 | 11:33 AIDC

Musim I

Untuk: A. W. (Sudah berlabuh berapa rembulan dalam dompetmu?) Malam begitu larut hingga belasan perahu tanpa cadik menenggelamkan lautan Angin kesiur diterpa resahmu yang menjadi Sekian lamanya tanya pada kepalamu berendeng memanggil jawab ; kapan bapak pulang Pagi begitu buta tak duga Resahmu yang gemulai menjelma gamang yang aduhai Kian mendamba keragu-raguan sebab di meja makan tudung saji mengangkangi udara dan meja urung riuh sedia masa Siang begitu sama dengan sebelumnya Tiada kupu-kupu gajah melesak di antara paha Atau sekadar melenggang mengitari ingatan Sebab di sana terperam tanya yang sama ; kapan bapak pulang Sore begitu jingga hingga matari Menopang setiap jiwa yang kembara Kudian kau kenang persoalan Buah jatuh dekat dengan pohonnya maka jutaan tanyamu yang itu itu saja terjawab sudah ; ia ajarkan untuk melupakan kesetiaan UK, 14 September 2014 3:45

Kepulangan Keempat

Kembali kusapa kau, Kekasih Sebab apriori bukan jalan lurus yang tertali dengan kerendahan hati Markah buatanmu telah tiada Sebab benci bukan senjata Melainkan pembuangan akhir masa cinta dalam laci meja belajar Kepulangan ini kusimpulkan sebagai kenangan yang belum pernah kita temui Bangku taman benderang dan kaki-kaki mungil para papa menyeberangi malam Dan kita tetap urung menemui janji Kusimpulkan kembali, kita Terjanggal oleh kemalu-maluan dan rasa bersalah berbaur air mata, mata air Kepulangan ini kutasbihkan sebagaimana barangkali doa yang teralir pada kepercayaan bahwasanya hendak kucipta kenangan Agar tak ada kabar angin bawa dari pucuk cibir melasak dalam rok Pulanglah, Pa. Ngawen, 1 Agustus 2014 @andindc

Mengingat Kau, Kekasih

Mengingat kau, Kekasih, seperti mengulum jarum waktu detik demi detik. Menelantarkan kesepian pada pinggiran menit yang tak terkira datangnya. Menelan poros jam yang berdetak serupa semu wajahmu, tetapi hayalan tetap hayalan, dan kesepian melanda seluruh permukaan waktu. Melupakan kau, Kekasih, bagai menanak beras dalam benci. Sedang nasi tak perlu lagi dikukus, sebab ketiadaanmu olehku telah terdekus dengan sedikit air mata yang barangkali bagi sebagian orang ialah berdekah melihat lelakuku. Barangkali pula, bagi sebagian orang, mengingat pelupaan tentang kekasihnya adalah bentuk kekeliruan yang acap terjadi dan mereka sadari. Tetapi bagiku, Kekasih, cinta tak dapat ditimang dengan kata dan kata tak makna tanpa cinta. UK, 29 Juli 2014

Sebuah Surat yang (Belum) Usai

Papa, Hari ini aku akan diwisuda Kutulis surat padamu jauh sebelum harinya Agar kau tahu betapa aku harap dan doa Sebagaimana harusnya itu terjadi Papa, Kali ini aku tak akan mengada-ada soal berita Di sudut koran di kotamu sana Kudengar kau telah berkeluarga Entah burung mana membawa air mata Tapi kurasa tak semuanya melempar dusta Aku turut bahagai dengan pulihmu Dua tahun silam, terakhir dan pertama Kau kirim sapa pada Bumi Kau kirim kenangan pada Matahari Kau kirim terang pada Bulan Kau kirim sepaket suka-duka pada kami Kau ingat, kan, Pa? Papa, Untuk ujung senja ingin sekali kutagih janjimu Janji kita di awal petang Sebagai penambal luka sebagai penghapus masa renta Atau sekadar basa basi yang tak segera terlaksana Kau masih ingat, kan, Pa? Betapa masa-masa menjadi kata-kata Mengawang di udara Membara di pelupuk mata Makna menjadi modus imperatif bagai aku laku keliru Apa benar, ayah kencing berdiri, anak kencing berlari? Ah, kau tak kunjung sadar

WANITA YANG BERJAGA DI AMBANG JENDELA

Acap ia cemas di pertalian waktu Senja buram bagai enggan beranjak Kecipak kenangan di pelataran rumah sehabis hujan Tak surut buai angin mengering Wanita itu kembali dalam cemas “Kelepak nasib mana yang kau cermati? Burung-burung kembali pada sarang Sadar pula ia pada anak istri Barangkali orang-orang perlu menirunya” Wanita itu kembali dalam cemas Bibirnya bergetar di ambang fajar Belum kembang-kembang yang mekar Belum hangus sampah terbakar Belum lagi yang lain yang lain “Ketiplak murung duniawi kau rindui Aduh, kau wanita Tak laik menaruh duka di dadamu Ingsutkan onak belukar darinya” Wanita itu kembali dalam cemas Di dinding kesunyian, ia Tulis masa yang setia memamah kecewa Hingga senja, hingga fajar, hingga gemetar Ia robek alit pada sisi wanitanya, hingga burai UK, 14 Juni 2014 @andindc | 06:05

WANITA YANG MELUPAKAN INGATAN

Separuh malam, ia habiskan waktu yang sebentar meleburkan cinta Sementara iba menggayut di kerongkongan Belum habis masa memakan usia, enyah segala rupa kenangan di pijar sekitar lilin Wanita itu... Barangkali kesedihan ialah laik ia tinggal, maka seseorang hadir di tengah kesepian nyata Ia coba lebur angkara, aksara berbicara menafsir tampak mata Ia tak kuasa berdusta Seseorang mengemas hati mereka dalam benian Ia lupa, di mana wanita itu menaruh rasa sumber @andindc UK, 2014

MANALAGI

Masih kau sukar membakar jarang yang menyandar? Butuh kau semacam kertas tanpa tinta? Agar api segera kobar dan membuat silau Kadang pemantik tiada bara di akhir Kerna bosan, sebab ibunya tak kunjung sadar Sebab ayah pun tak menyilaui anaknya Masihkah kau sukar meredam padam kadang yang mendamba? Seribu tahun datang seratus andai terabai Maka, andaiandai tiada tanah basah atawa air kering di samudra bahasa Jangan salahkan pensil tanpa kertas ; tercoretlah dinding rumah ibu sumber: republika.co.id UK, 28 Mei 2014 | 00:26

Pulanglah, Wanitaku, Temui Berai Air Mata

1 Wanitaku Ada masa di mana rencana ke depan bukanlah urusan remeh temeh. Bukanlah pula aku tak memikirkannya. Tapi keharusan untuk menanggalkannya di rak buku juga tak bisa kuabaikan. Kita telah mafhum bagaimana cinta yang bernas menggigilkan ilusi. Intuisi getir mendewa di pangkal lidah, menyeka kerongkongan, menyekat syarafsyaraf, dan meringankan tugas pembuluh darah, agar sirkulasi melaju lamban. Itu berarti, kesunyian mendamba di ujung purnama. 2 Wanitaku Perihal kita tunduk pada perut gunung, ialah bukan kerna kita kehabisan stok air minum atau kram yang membikin kita keram di tempat. Tidak, jangan salah. Kita menapak pada batu yang sama dan benar. Tujuan mendaki dan mencapai puncak, mencium bau keabadian cinta, dan sekadar mengambil potret bersamanya, tentu hadir di awal petualangan kita. Sebelum barangbarang tersempalai di lantai dan kita jejalkan dalam tas, tentu, tujuan kita sama setelah sampai puncak; turun dengan bahagia. 3 Wanitaku Jangan lagi kau sesalkan malam

SURAT UNTUK MANTAN

Telah kuterima suratmu minggu lalu, ketika Pak Peno datang ke gubukku dengan sepeda bututnya sore itu. Tak kuduga kau menulis surat lagi untukku setelah sekian tahun. Bukankah kau pernah berkata padaku selepas hilangnya senja dari matamu, kau akan gantung pena? Sebagai perempuan yang kukenal penepat janji, kupertanyakan kata-katamu, Lis! Perkataanmu kala itu kuamini. Aku pun ingin gantung pena. Tapi, lantas bagaimana kalau aku menepatinya, sementara suratmu telah sampai di meja makanku? Apakah harus kutanak bersama dengan beras-beras yang berhasil kudapat dari panen kecilku? Atau harus kulipat ia menjadi seperti kotak sebagai asbak abu rokokku yang kerap mengganggu tidur malammu di kasur kamarku? Sungguh sia-sia penantianku selama ini bila itu terjadi. Tidak, itu tak akan kubiarkan terjadi. Aku lelaki, dan kali ini aku akan mengingkari janjiku. Baru kali ini aku mengingkari janjiku, bukan? Rupanya, kita memang telah sepakat untuk mengingkarinya. Kau tahu, selama ini aku tak

KEPADA RUMAH KEDUAKU

Ini bukan surat seperti yang Bang Step tulis di blog-nya. Sebenarnya tulisan ini serupa dengan Curhat Alogo, tapi kali ini, sama sekali tidak membahas naskah. Ya, nyrempet sedikitlah, ya. Hehe. Usia curhatan ini ada di computer jinjingku hampir sebulan. Tapi aku malu menaruhnya di blog. Kukira tak laik untuk kupamerkan pada khalayak. Tapi, akhir-akhir ini, orang-orang mengajariku untuk jujur walau berbuah buruk―meski sebenarnya aku sering melakukan kejujuran ini. Kepada Bang Step, tenang, Bang, ini curhat tak akan melebihi surat cinta-mu yang katamu paling panjang itu. Hehe Ya, curhatanku ini masih seputar keluarga keduaku. Kejadian bermula ketika MPA jurusan di aula S. Ruang yang sempit, sesak oleh maba, dan kecanggungan antarmaba kerna belum saling kenal. Pembawa acara waktu itu mempersilakan semua organisasi yang ada di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari pecinta alam, komunitas penulisan kreatif, hingga terakhir―yang kuperhatikan―ialah Bengkel Sastra. Segera fokusk

AKU ALINA

Aku Alina 1 Alina yang selalu kupuja Kuagungkan kau lebih dari gembur tanah Kujauhkan kau dari retak kemarau Kuatapi kau dari terik nelangsa Tapi aku luput memayungimu dari hujan kenanganku ; hingga kau hanyut atas curiga dan kecewa Aku Alina 2 Ingat betul aku tatkala kau pinta rembulan hingga berabad kita pada atap yang sama. Tak pula lupa, damba teduh asmara dan rindang gejolak perlawanan batinmu atas segala nama wanita dalam dompetku, sajakku. Sajakku tak lagi imaji, berbicara andai, perihal jikalau. Seperti bulan terpeluk si bongkok atawa hujan yang tiada padahal banjir di depan mata setinggi kaki. Tidak. Melainkan kini, sajak lahir kerna matamu yang selalu basah dan urung kering. Kerna hidup bukan sebatas pilih-memilih. Ada dipilih, ada pula terpilih, selain itu tiada. Maka, kau adalah yang kedua kata kusebut di atas. Aku Alina 3 Wanitaku padat curiga dalam tubuh Buah mengkudu disebut duku Belum lagi asma ibuku dikira masa laluku Di meja sa

SURAT KEPUTUSAN

Yth. Nyonya Luphi                                                                          Negeri Senja, 26 April KELAK Di Kebahagiaan Dengan taat, Datangnya surat ini kepada Nyonya, saya, pria dengan tak terhingga kasih dan cinta, memohon sangat ketabahan, kerendahan, dan keikhlasan hati untuk putri semata wayang Nyonya. Ada pun maknanya, saya sadar dan sabar, izinkan saya untuk berujar janji cincin jari manis dengan putrimu, Alina. Restuilah perjalanan kami melewati tangga menuju altar surgawi. Saya kira Nyonya sudah paham dan mengerti, sebab tujuan utama manusia adalah untuk kembali ke semesta. Demikian, Nyonya, surat ini saya tulis dan baca dengan sadar, tulus, cinta, dan harap kepada Nyonya untuk putri mungil Nyonya. Atas segala restu, saya ucapkan syukur terima kasih. Salam cinta, Sukab

Sebelas Purnama Lewat Depan Rumahku

Malam perpisahan larut tanpa belaian Segera pagi, senyum terbit dari bibir tipismu merekah Seolah kau mengingatkan ; sarapan itu penting! Atau sekurang-kurangnya ; jangan lupa, matikan kipas angina di kamarmu, ya! Selalu halaman kau ulas lembut tanpa luput Jemari yang gerimis kerna bila petang menjelang Jumpa menjadi di layar ponsel atau esok harap masih aada matari Malam perpisahan larut tanpa belaian Segera pagi, senyum terbit dari bibir tipismu merekah Masih setia kau mengetuk kamarku Segelas susu sepotong rindu bertabur cinta rebah di pelukku Ya, pagi yang gemilang, sebab Sebelas purnama lewat depan rumahku Rumah-tangga kita Februari 2014

Bapak Djokey

Antara aku dan bahagia di tanganmu ialah kau genggam kepedihan. (kukocok keraguan) Atasmu pelbagai gundah, kau beri seribu poin kurang. Untuk kematian masa lalu ; kita Puspa, 25 Februari 2014