Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Bingkai Hujan

Tibatiba, butirbutir air langit jatuh membasahi kaki gunung, merembes ke tanah menuju kota, dan sebagiannya bermuara di hatiku yang tengah pengap akan asap rokok yang setiap harinya kuhisap 10 sampai 12 batang. Sesaknya tak terelakan. Mungkin sudah saatnya aku menghentikan kebiasaanku ini. Ya, kebiasaan menghabiskan waktu di atap rumah, memandang awan yang suci, dan merusak paruparu dengan rokok, kadang juga ditemani segelas kopi hitam pekat dengan sedikit gula. Tampaknya, kini saatnya aku kembali ke rumah untuk berteduh sembari menghangatkan tubuhku. Kembali aku melanjutkan catatan yang belum usai kutulis tadi. Hujan yang menghambatku menatap awan suci, membuatku ingin berdendang di bawahnya. Barang kali berdendang di kala hujan adalah sebuah kenikmatan yang belum pernah kutemui, yang mungkin bisa membangkitkan hasratku untuk kembali menari bersama pena di atas kertas. Tuhan memang Maha Benar. Tak salah Dia memberiku insting yang kuat. Ternyata berdendang di bawah hujan sungguh memb

Sudahi

Gerimis. Berawal dari gerimis kecil yang menggelitik pandang kita untuk melanjutkan perbincangan di teras rumahmu. Gerimis kecil dan angin yang berhembus menambah dinginnya suasana dan hatimu. Lebih dari dua jam kau relakan suara kita melayanglayang di cakrawala, hingga gerimis menyambut, dan menyudahi percakapan yang belum menemui terang. Wajahmu yang sebelum gerimis, asri kupandang, kini berubah kecut. Atau gerimis ini yang membuatnya, aku tak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu, selama kau masih bungkam. Pernah suatu ketika aku bertanya padamu tentang angin yang kumbara, namun itu pun tak kunjung terjawab olehmu. Lantas kau mengalihkan pertanyaanku dengan segelas kopi hitam buatanmu. Dan kau tahu, itu kesukaanku. Ah, kau benar-benar curang ya! Sampai akhirnya kutemukan langit setelah gerimis. Awalnya terlihat pelangi, saat kau menggenggam tanganku, dan menatap manis mataku. Kulihat bibirmu bergetar siap terbuka. Apa yang akan kau katakan? Ujarku dalam hati dengan sedikit

Gadis Itu

"Hei, gadis berambut hitam pekat! Tengoklah sejenak kemari!" Namun aku belum bisa memberikan seperti apa yang sekarang kau miliki apalagi untuk masa depan. Berdiri sejajar denganmu pun aku tak mampu. Kau memiliki segalanya. Sementara aku hanya pria dengan sebatang rokok di sela jemarinya. Celana robek yang setiap tiga bahkan empat bulan sekali kucuci, dan kaos oblong dengan gambar ganja, serta rambut gimbal yang selalu kugerai tanpa pernah tersentuh sisir. Tanyakan itu pada semua orang di cafe ini, pasti mereka tahu siapa orangnya. Ya, itu aku. "Hei, kau gadis di meja nomor 14! Palingkanlah sejenak wajahmu untukku!" Sesekali kau menoleh, meski dalam hitungan detik. Wajahmu teduh. Aku tiada daya menyapa, aku hanya bisa menikmati keindahan bidadari dari jauh. Sudah cukup bagiku menatap asri matamu dari sela helai rambut gimbalku yang menutupi wajahku ini. Gerah rasanya. Ingin kupangkas rambutku agar bisa dengan leluasa mata ini menatap wajahmu yang segar. Ini a

Bukan Jebakan

Sebelumnya, gue terimakasih banget buat semua bradda&sistha yang udah ngucapin ke gue. Baik teman sekolah gue, teman kuliah, sampe teman dunia maya. Gue hargain apresiasi kalian atas hari ini. Gue seneng banget, jujur, gue sampe berlinang! *serius! Ga juga sih :p Tanpa mengurangi rasa hormat gue pada kalian, gue minta maaf banget, nget, nget, nget, ya! :D Sebenernya gue Taurus, guys. So, gue lahir bulan April, bukan Agustus. Tapi gapapa deh, dengan begitu, gue masangin jempol atuatu buat kalian. Sekarang gini, temen faceebook gue ada 700biji, bayangin aja kalo mereka semua nulis di dinding gue, SEMUA. Terus gue nge-like satu per satu. Arrgghh *untung pake tetikus gue* haha :p Semua ini bukan tanpa maksud. Namun maksud hati bukan untuk mempermainkan kalian. Gue engga maksud nipu atau gimana ya, gue cuma pengen tau seberapa sih tementemen gue (sekolah) nginget tanggal lahir gue. :p Khususnya sahabatsahabat gue! ;p heuheu. Buat tementemen kampus, maaaaaaaf ya.. :* (ini

Hanya Embun

Di ujung lorong itu kita bersua Hanya di ujung Sekilat memang Seiris pasti Tiada dapat luka Karena luka tak teriris, bahkan kikis Semacam pengantar tidur atau tiada bangun menemui di kala fajar Di ujung lorong itu kita bersua Hanya di ujung Di antara kesibukan hari ini Kau antar aku pada kebebasan Kemerdekaan dalam cinta Kemerdekaan dalam bercinta Kemerdekaan untuk tercinta Di ujung lorong itu kita bersua Hanya di ujung Di ujungnya berdiri aku Sempoyongan bagai kerbau dengan marijuana Tanpa tahu arah Hanya embun mengenali daunnya Ular Besi, 28 Juni 2011 00:10 Andrall Intrakta DC

Katanya Senior, Mana?

KAMI berenam berhenti di depan warung nasi uduk yang tinggal kursi dan meja yang telah berdebu dengan papan namanya. Bukan untuk makan sahur, melainkan menunggu seorang atau beberapa orang yang mengenakan kostum yang tak jauh beda dengan kami. Ya, aku duduk dekat Aris di antara Hazmi dan Azmi. Sementara Rifqi dan Ridho berdiri di belakang kami dengan bersandar di tembok. Kami belum memakai almameter, karena kami enggan dicap sebagai mahasiswa baru. "Hei, hari ini puasa enggak?" tanyaku serius pada anakanak. "Ya, bebas. Kalau sekiranya kuat sampai kelar ospek, kenapa enggak?" jawab Hazmi santai. "Guhe mah puhasa!" seru Rifqi dengan mulut sedikit terkunci oleh rokok. "Hahahaha" spontan kami tertawa. Memang, hari ini sepertinya kami tidak puasa dulu. Untuk hari pertama ospek, sepertinya hal yang mustahil bagi kami untuk tidak berdosa. Bagi aku pribadi, tidak puasa di tahunku yang ke-19 adalah salah, tapi mau bagaimana lagi, aku ingin mel

Kepada DY

(untuk sahabatku Dhea X Near) Ketika sebatang tembakau racikan Menawarkan kamu atas aku Aku hisap dalam nikmat penuh Kau layangkan aku berbaring di sampingmu Pagipagi menjelang kuliah Dengan segelas kopi hitam dan sebatang filter Terjamahlah mimpiku Kau sundut aku oleh bara kopi dan asapnya Di sanalah awal kita hidup Karena hidup milik Tuhan Tanggal 4 Juni siang itu Hujan merembes dari ruang tubuh Menjalar ke kulit kali basah Menular ke pelupuk mata Tepat dari sudutnya ia keluar Dengan sebatang filter yang masih kau simpan Kau betikkan sebuah surai Semacam silaturahmi atau pencapaian Yang apa pula tak kuhendaki Kini semua gugur Jika waktuku tlah habis, habis pula jarak kita Aku tak butuh rindu Karena rindu menjadi makananku seharihari Di balkon ini, kutulis pesan filter kala malam menghitam Dan ribuan ekor angin menderu di antaranya Masih bersama bayanganmu, kau kenangkan aku atas kocokan gitarmu Remangremang terbayang w

Kepada D.H.N

Kali kedua senja terguyur gerimis Gerimis merangsek memenuhi kota menghujani seantero senja Senja lelap, petang menjelang Menjadi hujan tibalah badai hujan berkuasa Aku berdiri menangtang seribu badai malam Bahkan aku lupa ini tanggal berapa! *terendam grimis lalu badai* Jakarta, 18 April 2011 Andrall Intrakta DC 18:45

Senja dan Perahu Kayu Muda

Ini adalah bulan keenam kita saling kenal. Bulan ketiga kita duduk tidak dalam satu meja. Bulan di mana terdapat tanggal kenangan sepanjang hidupmu. Dan entah sampai bulan keberapa aku akan mendapatkan pulau itu. Yang pasti sinar bulanku masih banyak untuk aku tetap bisa berlayar dan mendayung perahuku. Kecuali waktu akan terhenti. Karena aku, kamu, kita tak pernah tahu kapan waktu akan berhenti. Selama waktu berjalan, layarku pun akan terus berkembang, hingga perahu ini mampu mencapai pulau yang tak pernah kau janjikan. Mengenai pulau itu, kau pernah memberikan sebuah peta. Lebih tepatnya petunjuk tentang pulau tak berpenghuni seperti yang kau bilang. Baiklah. Aku membacanya, tanpa sepengetahuanmu – meski sebenarnya kau tahu. Dan aku bisa membaca; untuk siapa peta itu. Aku yakin sekali, itu peta untukku! Benar. Tebakanku tak melesat. Lalu aku bertanya padamu, kau ingat, 'kan?! Tapi aku lupa. Baiklah, aku membuka catatan kecilku dulu. “Hmm, itu puisi buat siapa?” “Pada siapa sa

Anjing dalam Nafas Kita

Mereka ada di atas Tak pernah merasa puas Otoriter berhati iblis Mengenyam buah kubis Kita teriak lepas Dalam pelataran tanpa alas Hingga kuping mereka panas Anjing tak pernah tegas Selalu dalam nafas Jakarta, Maret 2011 Andrall Intrakta DC

Tentang Mereka

Dia berbeda kali ini. Berbicara mengenai sesuatu yang berbeda. Entah kenapa, aku merasakannya. Ini hari bukan hari kemarin atau awal aku bertemu dengannya. Aris. Hari ini dia berani membahas tentang hal yang tak tabu bagi kami, khususnya aku. Bukan mengenai cinta, politik, atau masalah kuliah. Sastra dan tokohnya. Kami membuka forum dengan tema tersebut, di bawah payung di pelataran Seven Eleven Salemba. Tempat yang bukan daerah tongkrongan kami. Aku senang dia mulai mencintai sastra. Yang ku tahu, sejak awal kenal, dia tak pernah membicarakan sastra, apalagi tokohnya. Biasanya hanya obrolan obrolan ringan dan ledekan, atau pantat pantat indah mengagumkan yang ada di sekitar kami. Tapi tidak untuk hari ini. Aris, dia memulai forum dengan melempar nama 'Helvy Tiana Rosa'. Hanya aku yang langsung menangkapnya. Karena aku tak asing dengan nama itu. Beliau adalah dosen kami, sekaligus sastrawan beken abad ini bagi kami. Bunda HTR - nama pena- begitu kami menyebutnya. Menurut Aris

Bunga Gugur

Malam ini tidak terlalu pekat tak seperti malam-malam biasa. Awan kelabu namun tak mendung, masih ada beberapa bintang yang berkedip, tak terkecuali bintang ufuk timur yang tak pernah absen pada orbitnya meski mendung sekalipun. Malam berlarut hingga tua, pukul 00.00 tengah malam, aku terbangun oleh bel rumah yang sangat nyaring, dan bisa menembus selaput gendang telinga hingga pecah. "Jam segini masih saja ada tamu, siapakah gerangan?" pikirku dalam keadaan setengah sadar. Dan bayangan melambung tinggi, "Stolen in 60second". Kira-kira game itulah yang ada di otakku ketika mengira-ngira siapa tamu yang menunda mimpiku. Sial! Ketika aku membuka pintu, tak ada seorangpun yang bisa tersorot oleh jangkauan mataku. Anak-anak liar kurang kerjaan yang selalu melakukan hal itu. Selalu memainkan bel pintu rumahku, berharap adikku yang membuka pintu. Aku pikir mereka tertarik dengan kecantikan adikku dan santunnya yang sangat luar biasa. Tak hayal dia menjadi bunga desa di