Gerimis. Berawal dari gerimis kecil yang menggelitik pandang kita untuk melanjutkan perbincangan di teras rumahmu. Gerimis kecil dan angin yang berhembus menambah dinginnya suasana dan hatimu. Lebih dari dua jam kau relakan suara kita melayanglayang di cakrawala, hingga gerimis menyambut, dan menyudahi percakapan yang belum menemui terang.
Wajahmu yang sebelum gerimis, asri kupandang, kini berubah kecut. Atau gerimis ini yang membuatnya, aku tak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu, selama kau masih bungkam. Pernah suatu ketika aku bertanya padamu tentang angin yang kumbara, namun itu pun tak kunjung terjawab olehmu. Lantas kau mengalihkan pertanyaanku dengan segelas kopi hitam buatanmu. Dan kau tahu, itu kesukaanku. Ah, kau benar-benar curang ya!
Sampai akhirnya kutemukan langit setelah gerimis. Awalnya terlihat pelangi, saat kau menggenggam tanganku, dan menatap manis mataku. Kulihat bibirmu bergetar siap terbuka. Apa yang akan kau katakan? Ujarku dalam hati dengan sedikit detak yang cukup kencang. Karena getaran bibirmu - aku yakin - itu menandakan kau hendak berbicara.
Rupanya pelangi tidak hanya ada di langit. Matamu bersiluet seperti pelangi, mungkin memang pelangi di langit jingga itu berasal dari mata bulatmu? Kau memang cantik!
Awan bergumul membentuk indah wajahmu di langit setelah gerimis. Seperti lukisan. Seiring dengan pelangi yang memantulkan cahayanya ke kacakaca gedunggedung pencakar langit. Menyilaukan mata. Apalagi senja tengah mengudara. Jingganya yang sangar memadu kasih dengan tujuh warna pelangi. Fantastic!
“Jadi, apakah petir selalu ada dalam gerimis?”
“Dia tak pernah absen. Petir datang tiap bulir gerimis, hingga hujan,” lanjutmu. “Setelah langit kehabisan airnya, perlahan petir itu tenggelam. Entah oleh apa ia takluk!”
Tanpa ragu, kusematkan jemari tangan kananku merangsek menggeliati kuping gelas yang cukup untuk kelima jariku saja yang sedari tadi melambaikan asap kedamaian untuk segera kuminum. Kuseruput kopi panas buatanmu agar suasana tak dingin lagi. Biarkan hujan dan angin yang membuatnya dingin, tapi bukan aku atau bahkan kau. Sementara kau tetap diam dengan menundukan kepala, yang sesekali kau tengadah merapikan rambut panjangmu yang tak pernah kau kuncir.
“Sebaiknya kau menikmati teh saja, dan mendengarkan suara gerimis yang terus menggelitikku!”
“Untuk apa aku menikmati teh? Sudah pasti setiap pagi aku menenggaknya di kantor. Itu hal yang menjemukan!”
Belum aku menjawabnya, “Dan tentang gerimis yang menggelitik, aku tak suka mendengar suaranya yang gaduh, yang setiap hujan usai, ia selalu menghantam atap rumahku, dan mengembun di dedaunan. Maaf.” jelasnya.
“Lantas, apa yang kau harap dari hujan yang mereda?” timpalku dengan asap rokok yang baru saja kubakar dan kuhisap lalu kumuntahkan.
“Aku hanya suka petir dan mendung!”
Uhuk! Aku terhenti dalam hisapan rokokku yang baru dua detik kuhisap. “Apa??” tanyaku tak percaya dengan kaget yang tak wajar. Mungkin karena dadaku sakit oleh asap yang hanya sedikit kuhisap dan keluar dengan terpaksa.
“Kau tahu bagaimana aku mencintai awan suci dan pelangi, namun..” protesku sambil meninggalkan meja di mana kami duduk tadi menuju jendela kaca yang berhubungan langsung dengan alam lepas. Sungguh cantik langit setelah hujan, kala gerimis. Matahari muncul malumalu dan pelangi mencoba menghibur yang telah basah. Pembagian waktu langit yang luar biasa. Tak ada seorang pun tahu tentang pembagian warna langit, apalagi rasa yang ada di balik lembayungnya. Aku melamun.
“…”
“Seandainya Tuhan tak menciptakan hanya sebuah pilihan – bukan dua – mungkin tak akan ada perdebatan!” ujarku menunjuk matahari yang mulai menampakan senyumnya dari balik awan putih – tanpa senyum.
“Tapi kau bukan Tuhan, Andin!”
Kau berjalan mendekatiku, lebih tepatnya berdiri di sisi jendela sebelah kiriku, aku ada di kanan. Tangan kananku sibuk memegang gelas berisi kopi yang masih hangat, sementara tangan kiriku sedang mencari kehangatan dalam saku celanaku sebelah kiri. Mataku melirik kode gerik tangan kanan Dian yang terlihat dengan jelas ingin meraih tanganku untuk berjabat, membuat kehangatan antar kulit telapak tangan yang membeku oleh suhu ruangan ini. Namun tangan kiriku tengah dalam egoisme yang fanatik – keukeuh dalam saku. Sementara tangan kirimu sibuk memutarmutar tirai yang tergulung rapi di sebelah kirinya, guna menyembunyikan kegemetaran akan berdekatan denganku.
“Kau bukan Tuhan, ingat itu!” lanjutnya.
“Jadi kau tak mendukungku untuk berimajinasi? Kau tahu? Aku adalah Tuhan untuk setiap tulisanku. Harusnya kau bisa menghargai profesiku!” tuntutku. Pandangan Dian kosong ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Lama sekali kau tak bergeming setelah aku mengaku bahwa aku Tuhan untuk tulisanku. Pun aku diam, sebab matahari telah menguasai cakrawala. Tak kulihat pelangi warna menggantung di langit. Astaga! Matahari begitu angkuh di atas sana. Air langit tak bersisa sedikit pun. Kini langit memiskin melihat sang surya membahana di ruang langit. Congkak betul ia!
Mungkin hal ini juga yang membuatmu membisu. Mungkin kau terpana melihatnya. Mungkin juga kau tak menghendaki matahari menggagahi pelangi yang memang saat ini bukan waktunya untuk bertugas.
Aku melangkah meninggalkan jendela, dan menaruh gelas berisi kopi yang sudah tak hangat lagi. Dengan laju kecewa aku membanting tubuh ke sofa dengan lemas. Sementara Dian masih diam seperti tanpa daya, hanya suara nafasmu yang sengal menderu hingga gendang telinggaku. Lain itu, dia juga mengidap penyakit asma.
“Duduklah, kau butuh istirahat!”
“Aku juga ingin menjadi Tuhan.”
“Kau ingin menulis?”
“Iya, tapi bukan sekadar tulisan. Tuhan untuk diriku sendiri!”
“Kau mulai mabuk tampaknya. Apa yang telah kau minum?”
Kau meninggalkanku di ruangan yang tetap dingin seorang diri. Sepertinya kau lelah berbincang denganku yang tak segera menemui titik. Memang lebih baik kau istirahat untuk beberapa waktu, atau mungkin tak menemui bangun setelah lelap.
Jakarta, 11 Oktober 2011 18:45
Andrall Intrakta DC
Wajahmu yang sebelum gerimis, asri kupandang, kini berubah kecut. Atau gerimis ini yang membuatnya, aku tak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu, selama kau masih bungkam. Pernah suatu ketika aku bertanya padamu tentang angin yang kumbara, namun itu pun tak kunjung terjawab olehmu. Lantas kau mengalihkan pertanyaanku dengan segelas kopi hitam buatanmu. Dan kau tahu, itu kesukaanku. Ah, kau benar-benar curang ya!
Sampai akhirnya kutemukan langit setelah gerimis. Awalnya terlihat pelangi, saat kau menggenggam tanganku, dan menatap manis mataku. Kulihat bibirmu bergetar siap terbuka. Apa yang akan kau katakan? Ujarku dalam hati dengan sedikit detak yang cukup kencang. Karena getaran bibirmu - aku yakin - itu menandakan kau hendak berbicara.
Rupanya pelangi tidak hanya ada di langit. Matamu bersiluet seperti pelangi, mungkin memang pelangi di langit jingga itu berasal dari mata bulatmu? Kau memang cantik!
Awan bergumul membentuk indah wajahmu di langit setelah gerimis. Seperti lukisan. Seiring dengan pelangi yang memantulkan cahayanya ke kacakaca gedunggedung pencakar langit. Menyilaukan mata. Apalagi senja tengah mengudara. Jingganya yang sangar memadu kasih dengan tujuh warna pelangi. Fantastic!
“Jadi, apakah petir selalu ada dalam gerimis?”
“Dia tak pernah absen. Petir datang tiap bulir gerimis, hingga hujan,” lanjutmu. “Setelah langit kehabisan airnya, perlahan petir itu tenggelam. Entah oleh apa ia takluk!”
Tanpa ragu, kusematkan jemari tangan kananku merangsek menggeliati kuping gelas yang cukup untuk kelima jariku saja yang sedari tadi melambaikan asap kedamaian untuk segera kuminum. Kuseruput kopi panas buatanmu agar suasana tak dingin lagi. Biarkan hujan dan angin yang membuatnya dingin, tapi bukan aku atau bahkan kau. Sementara kau tetap diam dengan menundukan kepala, yang sesekali kau tengadah merapikan rambut panjangmu yang tak pernah kau kuncir.
“Sebaiknya kau menikmati teh saja, dan mendengarkan suara gerimis yang terus menggelitikku!”
“Untuk apa aku menikmati teh? Sudah pasti setiap pagi aku menenggaknya di kantor. Itu hal yang menjemukan!”
Belum aku menjawabnya, “Dan tentang gerimis yang menggelitik, aku tak suka mendengar suaranya yang gaduh, yang setiap hujan usai, ia selalu menghantam atap rumahku, dan mengembun di dedaunan. Maaf.” jelasnya.
“Lantas, apa yang kau harap dari hujan yang mereda?” timpalku dengan asap rokok yang baru saja kubakar dan kuhisap lalu kumuntahkan.
“Aku hanya suka petir dan mendung!”
Uhuk! Aku terhenti dalam hisapan rokokku yang baru dua detik kuhisap. “Apa??” tanyaku tak percaya dengan kaget yang tak wajar. Mungkin karena dadaku sakit oleh asap yang hanya sedikit kuhisap dan keluar dengan terpaksa.
“Kau tahu bagaimana aku mencintai awan suci dan pelangi, namun..” protesku sambil meninggalkan meja di mana kami duduk tadi menuju jendela kaca yang berhubungan langsung dengan alam lepas. Sungguh cantik langit setelah hujan, kala gerimis. Matahari muncul malumalu dan pelangi mencoba menghibur yang telah basah. Pembagian waktu langit yang luar biasa. Tak ada seorang pun tahu tentang pembagian warna langit, apalagi rasa yang ada di balik lembayungnya. Aku melamun.
“…”
“Seandainya Tuhan tak menciptakan hanya sebuah pilihan – bukan dua – mungkin tak akan ada perdebatan!” ujarku menunjuk matahari yang mulai menampakan senyumnya dari balik awan putih – tanpa senyum.
“Tapi kau bukan Tuhan, Andin!”
Kau berjalan mendekatiku, lebih tepatnya berdiri di sisi jendela sebelah kiriku, aku ada di kanan. Tangan kananku sibuk memegang gelas berisi kopi yang masih hangat, sementara tangan kiriku sedang mencari kehangatan dalam saku celanaku sebelah kiri. Mataku melirik kode gerik tangan kanan Dian yang terlihat dengan jelas ingin meraih tanganku untuk berjabat, membuat kehangatan antar kulit telapak tangan yang membeku oleh suhu ruangan ini. Namun tangan kiriku tengah dalam egoisme yang fanatik – keukeuh dalam saku. Sementara tangan kirimu sibuk memutarmutar tirai yang tergulung rapi di sebelah kirinya, guna menyembunyikan kegemetaran akan berdekatan denganku.
“Kau bukan Tuhan, ingat itu!” lanjutnya.
“Jadi kau tak mendukungku untuk berimajinasi? Kau tahu? Aku adalah Tuhan untuk setiap tulisanku. Harusnya kau bisa menghargai profesiku!” tuntutku. Pandangan Dian kosong ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Lama sekali kau tak bergeming setelah aku mengaku bahwa aku Tuhan untuk tulisanku. Pun aku diam, sebab matahari telah menguasai cakrawala. Tak kulihat pelangi warna menggantung di langit. Astaga! Matahari begitu angkuh di atas sana. Air langit tak bersisa sedikit pun. Kini langit memiskin melihat sang surya membahana di ruang langit. Congkak betul ia!
Mungkin hal ini juga yang membuatmu membisu. Mungkin kau terpana melihatnya. Mungkin juga kau tak menghendaki matahari menggagahi pelangi yang memang saat ini bukan waktunya untuk bertugas.
Aku melangkah meninggalkan jendela, dan menaruh gelas berisi kopi yang sudah tak hangat lagi. Dengan laju kecewa aku membanting tubuh ke sofa dengan lemas. Sementara Dian masih diam seperti tanpa daya, hanya suara nafasmu yang sengal menderu hingga gendang telinggaku. Lain itu, dia juga mengidap penyakit asma.
“Duduklah, kau butuh istirahat!”
“Aku juga ingin menjadi Tuhan.”
“Kau ingin menulis?”
“Iya, tapi bukan sekadar tulisan. Tuhan untuk diriku sendiri!”
“Kau mulai mabuk tampaknya. Apa yang telah kau minum?”
Kau meninggalkanku di ruangan yang tetap dingin seorang diri. Sepertinya kau lelah berbincang denganku yang tak segera menemui titik. Memang lebih baik kau istirahat untuk beberapa waktu, atau mungkin tak menemui bangun setelah lelap.
Jakarta, 11 Oktober 2011 18:45
Andrall Intrakta DC
Komentar
Posting Komentar