Langsung ke konten utama

Wanita yang Mencoba untuk Sintas dalam Sinjangnya



untuk: seorang penulis Hipwee 


Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun
Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya
Bagaimana bisa aku mencintaimu pagun
Bilamana ada pertemuan di antaranya

***

Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya
Begitu kau tampak di balik terawang-remang
Mungkin jarak kedua alismu yang renggang
Mungkin lipatan baju kemejamu yang tiada
menjadi persepsi yang mendasar tentang
persoalan pembagian ruang

Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya
Kau tampik selir menyelir udara
Kau tolak segala guruh samudera
Sementara ketika udara resap dalam tubuh
dan cuaca bagai sepucuk teluh
Bersatu dengan sukma
Bergelut dengan raga
; Mau apa? Bisa apa?

***

Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun
Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya
Maka itulah tanyaku; memerhatikanmu dari jauh
dari pandang yang tak pernah kau sentuh



Yogyakarta, 1 November 2016
Andrall Intrakta DC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai

Mama, Biarkan Anak Lelakimu Sesekali Mengkhawatirkanmu

Hai, Ma. Sepekan bagai lorong panjang nan gelap Kau tahu sejak dulu, bahwa ketakutan Pendar berkat air mata yang tulus Sebab cinta yang begitu kuat Sebab rindu yang terlalu berat Sebab, di labirin tentu sedia Lapang jalan untuk melangkah Hai, Ma. Setepat ini hari, Izinkanlah aku mengkhawatirkanmu Meski hanya doa dalam rindu yang melaju Biarkanlah dokter dan suster merawatmu, Ma Juga, abaikanlah cibiran para tetangga Toh, mereka cuma tinggal dalam kerangjang belanja Bukan mereka yang turut berdoa, ikut bekerja Hai, Ma. Biarkan aku kali ini Mengkhawatirkanmu lewat doa Lalu akan kukirim ke labuhan bahasa cintamu yang sentosa! Jogja, 18 Februari 2016 @ andindc | 21:43

Nunung, Si Gadis yang Ingin Beranjak Dewasa

Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk menjadi dewasa dengan beragam cara. Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu. Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat? Masa perkenalan yang sangat genit. Jadwal kuliah menjadi alibi paling klise memulai percakapan yang terkesan sulit. Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha Masa Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak, memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lu