Musim
hujan turun di Magelang.
Begitu
jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah
prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan
menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku;
betapa perpisahan tinggal menghitung hari.
Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui.
Malam
ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu
membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara
sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah
perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua
perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul
bagaimana kesepianku menghadapi dua airmata dalam satu waktu yang hampir
bersamaan. Barangkali aku bisa menyebut tahun ini adalah musim hujan terburuk
dalam seumur hidupku? Entah. Andai waktu bisa diulang atau bagaimana aku bisa
memutar jarum jam pada kesedihan yang telah ruah di meja makan? Sementara waktu
terus berjalan, dan aku dipertemukan kembali pada ketiadaan, untuk kali ketiga.
Kesempatan
kita memang tak sebanyak orang lain yang bisa bertemu dan bertukar kopi
denganmu. Begitu banyak janji kita yang tanggal di meja makan, di ruang kerja,
atau bahkan di cakrawala yang menyenja. Satu yang akan selalu kusesali
sepanjang perkenalan kita, barangkali. Tapi, aku tak bisa memungkiri, aku cukup
beruntung bisa mengenalmu sejauh ini. Ya, sebatas cukup. Sebab, aku mafhum,
mengenalmu tak cukup hanya segelas kopi di emperan jalan Magelang-Semarang.
Selebihnya, kita hanya dipertemukan dalam basa-basi urusan pekerjaan. Itupun aku
tak bisa mengenalmu lebih dalam. Sayang sekali, bukan? Setidaknya, itu dari
kacamataku yang silinder.
Musim
hujan turun di Srikaloka.
Mungkin,
sejauh ini aku beranggapan bahwa Magelang seperti dua sisi mata uang logam. Antara
duka-luka dan suka-cita. Aku tak ingin mengukit duka, maka biarkan aku
menerjemahkan suka-cita dari persepsiku atasmu.
Sekadar
selingan, kau tahu, sedari awal surat ini, aku menikmati lantunan musik Game of
Thrones. Ya, sekadar pemancing suasana saja. Tak lebih, tak kurang.
Kembali
pada penafsiranku atas Magelang yang bermata suka-cita, Shofi Awanis. Harus kuakui,
kaulah sosok yang memberiku―entah bagaimana aku membahasakannya―sesuatu berupa
antitesis. Antitesis yang menentangku untuk membuka keran airmata dari sudut
kelam kedua bola mataku. Kau pandai membaca keadaan, Shof! Pertama yang kusuka
darimu.
| Perjalanan pertama dan terakhir kita. Ya, kau tahu seperti apa rupa mereka, sebenarnya. Dan, dari sinilah semua lukaku bermula. :) |
Lalu,
di kedai kopi paling romantis―bagiku sebelum akhirnya kutahu bahwa ada sesuatu
yang tak beres antara aku dan hatinya malam itu―aku menemukan sosokmu yang lain
daripada di lingkup kantor. Kau cukup rapi dalam menulis perasaan. Bahkan,
sebelum aku menyadari di malam itu, aku sudah cukup yakin, sebab aku beberapa
kali menyambangi laman blogmu. Aha! Tak perlu lagi aku malu mengakui, aku jatuh
cinta pada sajak-minimu. Kedua yang kusuka darimu.
Ketiga,
keempat, kelima, dan begitu seterusnya, kau memang layak disukai oleh lelaki manapun.
Terlepas dari buruk sikap dan sifatmu, yang sampai sekarang belum kutahu
rupanya, aku suka! Tapi, satu yang tak bisa kupahami lewat logika dan hati,
kenapa Almas Awanis begitu lucu dan manis? Duh.
Kau
seperti nomina dalam jawabku ketika kau tanya di emperan kopi di jalan Magelang
awal Mei lalu; ‘Kalau dicintai, itu apa?’ setelah kau tanya arti dari mencintai
yang kujawab dengan sebuah ajektiva. Ya, kau sebuah nomina; keberuntungan. Seperti
pula kata Rendra, “mencintaimu adalah bahagia dan sedih/bahagia kerna
memilikimu dalam kalbu/sedih karena kita sering berpisah.” Tapi bukan itu
maksudku. Kusarikan seperti ini: beruntung karena bisa mengenalmu secara
khidmat, beruntung karena aku tak mengenalmu dengan sangat.
Maka,
akan kuakhiri saja suratku ini, Shofi. Doa-doa terbaik untukmu di New York
sana. Sentosa dan bahagialah kau di sana. Jaga diri dan iman adalah
sebaik-baiknya langkah yang harus kau jalani. Semoga tapakmu tak terhenti
begitu mudah.
Tabik.
Yogyakarta,
24 Agustus 2016 | 23:57
Rekan
kerjamu yang masih merindui ngopi berdua denganmu.
Andrall
Intrakta


Komentar
Posting Komentar