Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Ini Harimu, Ma!

Ma, Dua hari lalu muncul wajahmu dalam dengkurku Memang agak berlebihan rupanya sebab aku tiada dengkur tiap tidur kecuali Ada lelah yang kumadu Ini hari jiwamu diserukan banyak orang Aku ingat betul tiga tahun lalu "Selamat hari guru, Nang! Semoga ngajarnya lancar. Anak bangsa kau didik benar." Tiga tahun lalu ini dialog kau kirim Padaku dalam ruang guru sebelum kuberlalu Masuk melewati lorong kelas, anak-anak berlarian, dan debu berhamburan Tiga tahun lalu aku bagai kau Seorang bahaduri yang mengawasi tiap curang anak manusia dalam mata pelajaran Aku ingat betul bagaimana suaramu lantang padat yakin Semua anak mengangguk mafhum tanpa ada tanya Seperti itu rupaku merupamu, Ma Setahun kudian, aku melupa hari ini Cuma kukirim pesan padamu yang sibuk mengguru Meski kau tak pernah suka untuk menggurui Tapi begitulah hidup, 'kan, Ma? Tak ingin berkata, tapi terpaksa bersuara Meski kata-kata tak lagi harus dipercaya Sebab dusta merupa begitu hebatnya

Ruang I

Ada masa-masa di mana ruang menjadi begitu vital Bukan perkara dua anak kecil berebut bantal Atau molek tubuh istri tetangga yang sungguh sintal Bahkan keringat para petani yang panennya gagal Lebih dari itu, Seorang perlu membiarkan punggungnya gatal Ke manapun toleh pandang menyalang Selulit merambat dari meja kerja Balita gerung di tetek ibunya meronta-ronta Begitu sulit betapa kernyit Kening yang kerut semakin menyusut Para jompo berlomba cari gadis tunasusila Ke manapun toleh pandang menyalang Kekasih, ruang ialah perihal makna Kata-kata bukan lagi pemanis makanan atau minuman kesukaan Lebih dari itu, Ruang merupa roman berlendir siap buang Ada masa-masa di mana ruang menjadi vital Seperti elang, tumbuh gagah dan perkasa Membiarkannya bertengger di muka jendela Kita tak ditakdirkan untuk memperdebatkan Duduk-diri seekor burung, bukan? Jadi sedemikian rupanyalah ia menjelma Ada masa-masa di mana ruang harus maujud Ada masa-masa di mana ruang harus terwujud Di luar atau di bad

Wanita yang Mencoba untuk Sintas dalam Sinjangnya

untuk: seorang penulis Hipwee  Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya Bagaimana bisa aku mencintaimu pagun Bilamana ada pertemuan di antaranya *** Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya Begitu kau tampak di balik terawang-remang Mungkin jarak kedua alismu yang renggang Mungkin lipatan baju kemejamu yang tiada menjadi persepsi yang mendasar tentang persoalan pembagian ruang Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya Kau tampik selir menyelir udara Kau tolak segala guruh samudera Sementara ketika udara resap dalam tubuh dan cuaca bagai sepucuk teluh Bersatu dengan sukma Bergelut dengan raga ; Mau apa? Bisa apa? *** Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya Maka itulah tanyaku; memerhatikanmu dari jauh dari pandang yang tak pernah kau sentuh Yogyakarta, 1 November 2016 Andrall Intrakta DC

Surat Terbuka Untukmu, Wanita yang Telah Melengkapi Tiga Musim Perburuanku di Ibukota

Untuk: Kamu Mengutip Aan Mansyur, aku sering diserang keinginan bertanya apa yang sugguh membuatmu jatuh cinta kepada wanita yang sungguh aku cintai itu. meskipun mungkin kau juga melihat kecantikan yang aku lihat di wajahhnya atau merasakan pelukan lengannya yang amat pas di tubuhku Tapi surat ini tidak aku tujukan padamu, Tuan. Serta merta surat terbuka ini ingin kusampaikan pada kalian, sepasang—entah bagaimana aku menyebutnya—bekas kekasih dan juga sahabat sekaligus rekan kerjaku yang kini hangat saling bertukar dekap, mungkin pula keringat. Tanpa perlu aku berbasa-basi, mungkin kau tahu dari angin mana suratku ini berlayar. Sebelum kau terkejut, biar kuberi tahu di awal, surat ini bagai perahu yang menyimpan jutaan bahan peledak dan logistik yang tidak sedikit. Begitu banyak tanya dan heran di dalamnya. Adapun maknanya, mungkin kau bisa membantunya menjawab satu per satu. Di mulai dari awal kedekatan kalian yang terlalu mencurigakan bagiku. Dari

MEMELUKMU PAGI TADI

Blora. Selasa, 24 Maret 2015 - 15:55 untuk: Mama Betapa cinta, Ma, ada kau dalam mimpiku Melepas rindu yang kutimbun delapan purnama dalam dekapmu Kamu nyata, Ma? Sayang, alarm terlalu pekik Terjaga aku oleh cekik ; merinduimu yang tiada ternyata begitu pelik Ma, kenapa kau datang di saat aku lelap? Apakah surga mengizinkan hamba-Nya bepergian tanpa sebab? Kerna dibiarkannya mataku nyalang dengan sembab Dan bayangmu sejenak lantas lenyap ; begitu hangat, begitu lekat, begitu dekat Yogyakarta, 10 Oktober 2016 Andrall Intrakta | 10:17

Sebuah Hujan, Sebuah Perpisahan

Untuk: Angel Sedari pagi Jogja basah dan bising. Sebagian cita-cita melasak dalam bantal. Ada yang melilit, ada yang menggigil. Kesemuanya tak ada yang terpanggil. Kecuali bau-bauan tanah aspal jalanan. Serta gang-gang yang tak sesempit Rawamangun. Meliuk-liuk bagai matador di ujung tanduk para banteng. Rebah dan lesap dalam-dalam. Sedari pagi Jogja basah dan bising. Hujan di luar, hujan di dalam. Keduanya membawa kabar. Kepergianmu, Angel, bukanlah penghujan di penghujung kemarau. Sebab hujan tahu kapan mereka harus berpulang. Sebab basah sisa suara parau. Suara-suara yang pernah kita dengungkan di atas Kali Code malam itu. Sedari pagi Jogja basah dan bising. Lalu, setelah kepergian, adakah keberangkatan merupa jalan untuk seorang pulang? Kita tak pernah benar-benar tahu, sampai cita-cita beranjak dari lesak bantal sedari pagi di Jogja, yang basah dan bising. Kerna kita tak pernah mengambil gambar dalam satu bingkai. Kau tahu, Angel? Sedari pagi Jogja basah dan bising.

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai

Kesibukan dan Kerinduan Hanya Lahir di Bumi, Ma

Kini aku mengerti bahwa Pulang bukan hanya ke rumah Menyesap malam bergelas sendu Menyusupkan sedikit dingin dan beku Hati bibir yang kuyu Adalah satu hal dengan ke rumah Ya, kembali bersama desir kenangan Yang mengempas merembes jauh dalam Ingatan-ingatan kanak-kanak Ma, aku sudah mengerti, Ma Ternyata tetangga tak seacuh sedia masa Bahkan semua mengira kepergian adalah ketiadaan untuk melepas tegur sapa Sedikit juga ada yang lebih membuang muka memberi luka Tapi, Ma Ada yang lebih dari semuanya, Ma Yang pergi dan datang dengan sekarung dendam Tapi untuk apa ya, Ma? Bukankah orang pergi sudah cukup dengan bekal? Apa di dunia tak ada rantang ya, Ma? Membungkus air mata bersama doa berbumbu maaf yang tanpa dusta Kamu sudah kenyang, Ma? Istirahatlah, Ma Kesibukan dan kerinduan hanya ada di bumi Sementara kau kukenangkan saja pada cerita cintaku Srikaloka, 23 Mei 2016 @andindc

Sekotak Puisi di Ini Kota

Segelas puisi hangat yang tawa bagimu Menyeberang ceria, menutup duka laju Denting gerimis melebur suasana, manis Satu kali peluk merajut dalam lengan kekarku Dua kali lekuk senyum sesat untukku Ya, musim hujan yang terlalu cepat Barangkali kemarau kurang tepat Untuk pulang tapi rindu dan benci seperti lekat O, Rosario yang malang! Semuanya mengagung, menyemai sepuh usia Di pukul berapa pelayan membawakan gulagula? Duh, terlalu pekat Piccolo Latte-ku Tentu, tiada pahit lelakumu Magelang, 7 Mei 2016 @ andindc

Ternyata Seperti Ini Rasanya Rindu, ya, Ma?

Untuk: Bumi tercinta Ma, ternyata seperti ini rasanya rindu, ya? Belum habis aku baca halaman pertama Tetapi rasanya seperti purnama yang menyembul di akhir malam Purnama datang sungguh dini Padahal tak ada benci, tak ada apa Cuma rindu, Ma, rindu! Atau, seberapa pentingkah rindu bagi mereka yang Tiada hati, tiada apa? Tapi kamu tahu, Ma? Purnama mengayuh sepeda bagai diburu belati Di muka jalan, raya melebar menjunjung diri Belati yang sebesar jarum waktu itu ditusuktusuk Pada diri berair mata, api mata, mata hati, hati mati Ma, ternyata seperti ini rasanya rindu, ya? Barang sebulan dalam kegamangan meraung di luar rumah Apakah di surga, Ma, banyak orang ramah? Semoga saja tak ada yang menanyakan cara orang-orang Yang terlihat sopan nan ramah Meninggalkanmu dalam tanah Tanya seperti itu sungguh melukai hati, 'kan, ya, Ma? Lalu, Ma, Konon kamu bisa main di taman atau di danau ya, Ma? Atau sekadar jalan-jalan di pasar, seperti

Mama, Biarkan Anak Lelakimu Sesekali Mengkhawatirkanmu

Hai, Ma. Sepekan bagai lorong panjang nan gelap Kau tahu sejak dulu, bahwa ketakutan Pendar berkat air mata yang tulus Sebab cinta yang begitu kuat Sebab rindu yang terlalu berat Sebab, di labirin tentu sedia Lapang jalan untuk melangkah Hai, Ma. Setepat ini hari, Izinkanlah aku mengkhawatirkanmu Meski hanya doa dalam rindu yang melaju Biarkanlah dokter dan suster merawatmu, Ma Juga, abaikanlah cibiran para tetangga Toh, mereka cuma tinggal dalam kerangjang belanja Bukan mereka yang turut berdoa, ikut bekerja Hai, Ma. Biarkan aku kali ini Mengkhawatirkanmu lewat doa Lalu akan kukirim ke labuhan bahasa cintamu yang sentosa! Jogja, 18 Februari 2016 @ andindc | 21:43