Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

SURAT UNTUK MANTAN

Telah kuterima suratmu minggu lalu, ketika Pak Peno datang ke gubukku dengan sepeda bututnya sore itu. Tak kuduga kau menulis surat lagi untukku setelah sekian tahun. Bukankah kau pernah berkata padaku selepas hilangnya senja dari matamu, kau akan gantung pena? Sebagai perempuan yang kukenal penepat janji, kupertanyakan kata-katamu, Lis! Perkataanmu kala itu kuamini. Aku pun ingin gantung pena. Tapi, lantas bagaimana kalau aku menepatinya, sementara suratmu telah sampai di meja makanku? Apakah harus kutanak bersama dengan beras-beras yang berhasil kudapat dari panen kecilku? Atau harus kulipat ia menjadi seperti kotak sebagai asbak abu rokokku yang kerap mengganggu tidur malammu di kasur kamarku? Sungguh sia-sia penantianku selama ini bila itu terjadi. Tidak, itu tak akan kubiarkan terjadi. Aku lelaki, dan kali ini aku akan mengingkari janjiku. Baru kali ini aku mengingkari janjiku, bukan? Rupanya, kita memang telah sepakat untuk mengingkarinya. Kau tahu, selama ini aku tak

KEPADA RUMAH KEDUAKU

Ini bukan surat seperti yang Bang Step tulis di blog-nya. Sebenarnya tulisan ini serupa dengan Curhat Alogo, tapi kali ini, sama sekali tidak membahas naskah. Ya, nyrempet sedikitlah, ya. Hehe. Usia curhatan ini ada di computer jinjingku hampir sebulan. Tapi aku malu menaruhnya di blog. Kukira tak laik untuk kupamerkan pada khalayak. Tapi, akhir-akhir ini, orang-orang mengajariku untuk jujur walau berbuah buruk―meski sebenarnya aku sering melakukan kejujuran ini. Kepada Bang Step, tenang, Bang, ini curhat tak akan melebihi surat cinta-mu yang katamu paling panjang itu. Hehe Ya, curhatanku ini masih seputar keluarga keduaku. Kejadian bermula ketika MPA jurusan di aula S. Ruang yang sempit, sesak oleh maba, dan kecanggungan antarmaba kerna belum saling kenal. Pembawa acara waktu itu mempersilakan semua organisasi yang ada di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari pecinta alam, komunitas penulisan kreatif, hingga terakhir―yang kuperhatikan―ialah Bengkel Sastra. Segera fokusk

AKU ALINA

Aku Alina 1 Alina yang selalu kupuja Kuagungkan kau lebih dari gembur tanah Kujauhkan kau dari retak kemarau Kuatapi kau dari terik nelangsa Tapi aku luput memayungimu dari hujan kenanganku ; hingga kau hanyut atas curiga dan kecewa Aku Alina 2 Ingat betul aku tatkala kau pinta rembulan hingga berabad kita pada atap yang sama. Tak pula lupa, damba teduh asmara dan rindang gejolak perlawanan batinmu atas segala nama wanita dalam dompetku, sajakku. Sajakku tak lagi imaji, berbicara andai, perihal jikalau. Seperti bulan terpeluk si bongkok atawa hujan yang tiada padahal banjir di depan mata setinggi kaki. Tidak. Melainkan kini, sajak lahir kerna matamu yang selalu basah dan urung kering. Kerna hidup bukan sebatas pilih-memilih. Ada dipilih, ada pula terpilih, selain itu tiada. Maka, kau adalah yang kedua kata kusebut di atas. Aku Alina 3 Wanitaku padat curiga dalam tubuh Buah mengkudu disebut duku Belum lagi asma ibuku dikira masa laluku Di meja sa