Telah kuterima suratmu minggu lalu, ketika Pak Peno datang ke gubukku dengan sepeda bututnya sore itu. Tak kuduga kau menulis surat lagi untukku setelah sekian tahun. Bukankah kau pernah berkata padaku selepas hilangnya senja dari matamu, kau akan gantung pena? Sebagai perempuan yang kukenal penepat janji, kupertanyakan kata-katamu, Lis! Perkataanmu kala itu kuamini. Aku pun ingin gantung pena. Tapi, lantas bagaimana kalau aku menepatinya, sementara suratmu telah sampai di meja makanku? Apakah harus kutanak bersama dengan beras-beras yang berhasil kudapat dari panen kecilku? Atau harus kulipat ia menjadi seperti kotak sebagai asbak abu rokokku yang kerap mengganggu tidur malammu di kasur kamarku? Sungguh sia-sia penantianku selama ini bila itu terjadi. Tidak, itu tak akan kubiarkan terjadi. Aku lelaki, dan kali ini aku akan mengingkari janjiku. Baru kali ini aku mengingkari janjiku, bukan? Rupanya, kita memang telah sepakat untuk mengingkarinya. Kau tahu, selama ini aku tak