Langsung ke konten utama

SURAT UNTUK MANTAN




Telah kuterima suratmu minggu lalu, ketika Pak Peno datang ke gubukku dengan sepeda bututnya sore itu. Tak kuduga kau menulis surat lagi untukku setelah sekian tahun. Bukankah kau pernah berkata padaku selepas hilangnya senja dari matamu, kau akan gantung pena? Sebagai perempuan yang kukenal penepat janji, kupertanyakan kata-katamu, Lis!
Perkataanmu kala itu kuamini. Aku pun ingin gantung pena. Tapi, lantas bagaimana kalau aku menepatinya, sementara suratmu telah sampai di meja makanku? Apakah harus kutanak bersama dengan beras-beras yang berhasil kudapat dari panen kecilku? Atau harus kulipat ia menjadi seperti kotak sebagai asbak abu rokokku yang kerap mengganggu tidur malammu di kasur kamarku? Sungguh sia-sia penantianku selama ini bila itu terjadi. Tidak, itu tak akan kubiarkan terjadi.
Aku lelaki, dan kali ini aku akan mengingkari janjiku. Baru kali ini aku mengingkari janjiku, bukan? Rupanya, kita memang telah sepakat untuk mengingkarinya. Kau tahu, selama ini aku tak pernah melakukan hal ini. Namun, suratmu ini memancing gairahku untuk kembali menjadi puisi. Sebagai sintesis dari kedua rasa kita; cinta. Ah, terlalu gigil aku menulis kata yang sampai kini tak kutahu ia, kata kerja atau kata benda atau kata sifat.
Begitu rumitnya cinta. Kita lahir dari kelas yang berbeda. Benar kata orang, kau adalah apa yang kutanam. Tentu bukan hanya padi yang kusemai, melainkan mawar dan pelbagai bunga kusebar di pekarangan rumahku. Tak sedikit orang mengendus bau dan warnanya. Bagai kau, wanita mirip ibuku. Kau selalu diendus dan dilirik semua orang yang lewat depan rumahku. Kau begitu diminati. Kembang desa anak Lurah Sarman. Siapa yang tak mengenalmu, Lis?
Hingga waktu kita nyaris bersama kala itu, berkenalan di jembatan itu selepas pulang dari sawah. Kau berdiri di tepi jembatan. Aku lihat betul, itu kau! Bergegas aku membasuh sekujur tubuhku tanpa melepas baju di pinggir kali Lusi itu. Betapa terburu-burunya aku untuk segera menemuimu. Kita memang belumlah saling mengenal. Tapi aku tahu betul tentangmu, kerna semua warga selalu membicarakanmu. Siapa yang tak mengenalmu, Lis?
Barulah aku sampai di ujung jembatan. Kulihat dari jauh wajahmu yang teduh, rambutmu yang tergerai, siluet layung tubuhmu terpancar senja matari kala itu. Tiada kata lain untuk menggambarkanmu, Lis. Kudian aku diam, bercermin pada kenyataan. Aku seorang petani kecil. Lalu, mau apa aku menghampirimu? Aku diam lagi. Tapi senyummu, kuyakin, kau tak bohong. Kau memintaku untuk mendatangimu.
Ah, aku terlalu jauh membicarakan masa lalu. Masa senja yang selalu kusebut untuk usia asmara kita yang diam-diam. Ya, diam-diam. Kerna kenyataan tak memihak pada mimpi. Lebih tepatnya, mimpiku. Ya, mimpiku. Mimpi bersamamu duduk di antara mambang kuning cinta kita.
Menanggapi suratmu, bagiku ialah tak perlu kau bersedih. Kau telah hidup enak dengannya, anak pengusaha dari Kalimantan yang mengutus beberapa preman untuk membakar rumahku, ketika acara pernikahan kalian. Di antara dentum musik dangdut di lapangan desa yang tak jauh dari rumahku, aku duduk di pinggir tukang gulali. Kembang api mengangkasa, bunyinya sungguh luar biasa. Segala warna tumpah di udara. Begitu pula dengan puing-puing rumahku, beterbangan di angkasa. Dan mulailah aku hidup seorang diri, tanpa kenangan tentangmu!
Kiranya, ini adalah saatnya aku mengakhiri ingkaranku; menulis. Ya, kerna segala kenangan tentangmu bagiku ialah kepedihan tiada dasar. Lubang yang selalu rekat dengan nelangsa. Tapi bukan berarti aku tak menerimamu kembali. Aku senantiasa menerimamu kembali, kembali ke pelukan hati yang lain. Sementara aku tetap nyaman dengan sunyiku. Jengkerik jangkrik di tiap malam, hembusan angin, dan pantulan jingga dari kaca-kaca bangunan bertingkat di seberang sawahku, adalah kekasihku yang benar-benar setia.
Tetaplah tegar, Lis. Kau pasti bahagia dengan suamimu di sana. Oh, iya, jangan lagi kau kirim surat padaku. Kerna kekasihku yang benar-benar setia tak akan sudi menerima surat darimu yang nantinya menjadi sampah di rumah kami. “Cintailah suamimu, laiknya kita mencintai puisi.”


Salam hangat,
Sobrat.



Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...