Langsung ke konten utama

KEPADA RUMAH KEDUAKU




Ini bukan surat seperti yang Bang Step tulis di blog-nya. Sebenarnya tulisan ini serupa dengan Curhat Alogo, tapi kali ini, sama sekali tidak membahas naskah. Ya, nyrempet sedikitlah, ya. Hehe. Usia curhatan ini ada di computer jinjingku hampir sebulan. Tapi aku malu menaruhnya di blog. Kukira tak laik untuk kupamerkan pada khalayak. Tapi, akhir-akhir ini, orang-orang mengajariku untuk jujur walau berbuah buruk―meski sebenarnya aku sering melakukan kejujuran ini.
Kepada Bang Step, tenang, Bang, ini curhat tak akan melebihi surat cinta-mu yang katamu paling panjang itu. Hehe
Ya, curhatanku ini masih seputar keluarga keduaku. Kejadian bermula ketika MPA jurusan di aula S. Ruang yang sempit, sesak oleh maba, dan kecanggungan antarmaba kerna belum saling kenal. Pembawa acara waktu itu mempersilakan semua organisasi yang ada di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari pecinta alam, komunitas penulisan kreatif, hingga terakhir―yang kuperhatikan―ialah Bengkel Sastra. Segera fokusku tertuju pada satu orang. Ia berambut gondrong, ikal, hitam, dan seram. Ia berbicara sedikit soal Bengkel Sastra. Tanpa banyak cakap, aku tertarik. Dari sinilah, aku ingin jadi anggota Bengkel Sastra.
Sudah sejak lama memang aku suka teater, terlebih sastra. Tapi pengalaman membawaku suka pada persoalan merangkai kata. Di Bengsas, kutemui kali pertama ialah Baskoro, di depan BEM. Kuserang ia dengan berbagai pertanyaan seputar Bengkel Sastra, yang akhirnya kutahu darinya ialah Bunda Helvy pembimbingnya. Aku sangat antusias mewawancarai Baskoro. Dan aku puas dengan semua jawabannya, “Datang aja ke tercil.”
Selepas dari BEM, aku ke jurusan. Di sana ada Bang Foltrus. Tanpa pikir panjang, kutembak ia. Kukatakan bahwa aku ingin jadi anggota Bengkel Sastra. Keren! Aku memang sangat menghargai orang berambut gondrong. Kerna ayahku demikian, gondrong.
Bengsas Open House digelar sore hari sembari buka puasa. Sebelumnya, tak satupun kawan seangkatanku yang mau kuajak gabung. FAK! Tapi, kekasihku waktu itu, Azmi, dengan lantang menyambut ajakanku. Kami pun datang berdua. Ketika acara, ternyata Waluyo sudah duduk manis di paying-payung pendopo sendirian. Yang menarik dari open house ini ialah, mereka orang yang asik, cerdas, dan woles. Terlebih Baskoro. Lagi-lagi Baskoro.
Oiya, kesan pertamaku bukan pada Baskoro yang gemuk dan aneh itu. Melainkan Dwi Suprabowo. Ia seniorku 2007. Ia orang yang sangat baik, diikuti Watipu diurutan kedua. Dalam hal penulisan, mereka berdualah yang membuatku untuk belajar menulis dan mencintai kata. Ya, meski sampai saat ini aku belum mampu menulis dengan benar. Baca saja tulisanku ini, jauh dari kata bener. :D
Tahun pertama di Bengkel Sastra, aku ingin fokus pada penulisan. Tapi, apa daya. Divisi penulisan, yang saat itu ditukangi oleh―siapa, ya, aku lupa―tidak berjalan semestinya. Hanya ada satu buletin yang sempat terbit. Lantas, aku tak tahu lagi bagaimana kelanjutannya. Apa boleh buat, kutanggalkan citacitaku menjadi pers. (Ini bohong)
Setahun di bawah asuhan Ahmad Mulyadi, aku sempat beberapa kali ikut proses kreatif. Waw! Tahun itu benar-benar tahun yang luar biasa! Oiya, di beberapa kesempatan pentas itu, sudah ada beberapa kawan seangkatanku. Kian meriah keluargaku ini. Pula ada yang suka menulis sepertiku. Nah, kami pentas di acara wisudaan di jurusan, di Hotel Santika, UMN Tangerang, UPT Perpus, dll.. Yang perlu kusoroti di sini ialah prosesnya, bukan masalah gengsi kerna kita jalan-jalan ke tempat asing, ngamen dalam bus, nunggu angkot, dianter dengan mobil bagus―di Tangerang. Ya, prosesnyalah yang menyisakan selalu patut kubanggakan!
Betapa tidak, dalam proses itu, yang namanya dilatih itu ya dilatih. Disiplin, konsentrasi penuh, fokus, bercanda boleh, tapi harus cerdas, dsb. Ada yang telah hilang kini. Ketika latihan, hape bukanlah hal yang perlu dipegang. Sebagus, secanggih, semahal apa pun itu ponsel, letaknya dalam tas! Apalagi rokok. Masih ingat betul aku ketika kita sedang diskusi di pusar Tercil. Tiba-tiba Fathoni membakar rokok, tiba-tiba pula makian ‘halus’ membakar diri Fathoni. Ya, dulu rokok haram hukumnya ketika masih dalam waktu latihan.
Keren, bukan? Ya, itu ketika aku masih tingkat satu.
Ada masa-masa ketika segala yang di awal kusebut keluarga keduaku ini menjadi bukanlah hal yang istimewa. Asumsiku, kerna sebaliknya pula ia menganggapku. Tapi entah, siapa yang salah, di mana kelirunya. Mungkin aku khilaf. Tapi cemburu dan curiga mengawang di awal tahun keduaku di Bengkel Sastra. Hingga fatal perbuatan yang kupilih. Aku menjadi jamur. Banyak tempat yang kusinggahi tanpa ada angan-angan untuk mencari keluarga baru. Ya, aku menyebutnya vakum dari organisasi. Kerna tak ada vakum untuk keluarga.
Aku pindah dari tempat A ke B ke C ke D. Semua itu juga atas saran seseorang. Aku harus menjadi jamur; menghidupi diri dengan cara mengambil sarisari dari tumbuhan/makhluk lain. Tapi tak merugikan yang lain. Aku tak bisa menyebut diriku salah kerna meninggalkan keluargaku. Ini kulakukan untuk memperkaya pengetahuanku soal dunia yang kupijak; sastra dan kehidupan. Hingga akhirnya aku merasa sudah cukup lama aku meninggalkan keluargaku. Aku kembali.
Kuceritakan sedikit kepergianku yang sementara itu. Awal tahun kedua aku di UNJ. Proses SMS. Kemegahan yang harusnya turut kurasa. Prestasi yang semestinya kuukir. Kenangan yang sepertinya akan mengubah masa laluku di kudian hari. Kepahitan yang tak selayaknya kalian rasakan sendiri. Kita keluarga, bukan? Sampai saat ini aku masih menganggapnya seperti itu.
Setelah usai UAS semester dua, libur dua-tiga bulan, aku belum memastikan diriku untuk kembali ke kampung halaman. Minggu awal liburan aku masih setia di kosanku yang kumuh dan tak laik huni. Berharap adanya proses kreatif atau sebatas nongkrong ngopi cantik bersama keluarga keduaku. Tapi, ternyata belum ada. Tibalah Alltra―adik kandungku tercantik―menghubungiku lewat ponsel mamaku. Ia berharap aku pulang membawa buku cerita Barbie atau legenda nusantara―padahal ia belum bisa membaca. Kuputuskan saat itu juga, aku pulang ke Blora.
Tibalah aku di tanah kapur. Kudapati kicauan di twitter seseorang yang aku lupa siapa. Ia menulis, tengah latihan bersama Bengsas di Tercil. Kutanyai ia, tentang proses apa. SMS. Ya, padahal yang kutahu, ia belumlah termasuk keluarga kita di Bengkel Sastra. Kubilang keluarga, jika ia telah mengikuti proses kreatif sebelum masuk pada ‘naskah’. Bang Ferdi pernah berkata, jangan harap kau mendapat peran dengan dialog, jika belum pernah ikut proses ‘sederhana’.
Dari sanalah awal mula kupendam air mata; iri. Tak ada kabar apa pun yang dikirim untukku. Sebatas menanyakan kabarku, kabar keluargaku di kampung, siapa nama adikku, siapa nama ibu kosku, atau apalah. Malah, proses SMS mengajak orang-orang baru yang―sepertinya―buta teater. Memang, aku tak seberapa dibanding mereka dalam berteater, tapi, cita-citaku dari SMP ialah berdiri di panggung GBB atau GKJ, seperti ayah dan ibuku bertukar cinta di atas panggung itu.
Apatis. Aku menemukan kata ini di selembar koran. Kukira, diksi itu cocok untukku saat itu. Aku mulai ah, ya sudahlah, pada Bengkel Sastra. Menimbun iri dengki pada orang-orang ‘baru’ yang lebih beruntung itu. Ah, jadi sedih. L
Kurang lebih setahun aku tak menginjakkan kakiku di rumah ini. Ada guruku Dwi S dan Watipu mengajakku pulang kembali. Tapi rasa takut dan segan selalu menyergah. Pasti canggung aku dibuat keadaan. Tetapi, kalah dari keadaan sama halnya dengan ketakutan atas kepercayaan. Ah, ribet soal beginian. Intinya, aku malu bila nanti kembali. Harus bagaimana, harus apa, dll..
Orang bijak selalu mengatakan, ada hikmah di balik semua musibah. Ada tujuan di tiap perbuatan. Benar! Ialah, bertambah banyak amunisi dari angkatanku. Jadi, setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya juga politik ini. Heuheu
Aku kembali di tahun ketigaku. Itupun kerna Ibu kita yang mengajakku. Beliau luar biasa! Benarbenar Ibu! Beruntunglah jadi anak kandungnya Bunda. :D hehe
Banyak yang berubah dari rumah kita. Entah aku yang merasa beda, atau bagaimana? Entah.
Tahun ketiga merupakan titik nolku di Bengkel Sastra. Aku bagai bayi. Sedikit yang kukenali. Ternyata aku sudah jadi senior! Tapi, senior yang bagaimana? Bukan senior yang bisa memberi wejangan atau ilmu bagi juniornya. Bukan, belum. Aku merasa belum memberi apaapa untuk adikadikku di rumah ini. Maka dari itu semua, kutentukan hidupku untuk menjadi berguna. Akan kutebus masa di mana aku tiada bagi keluargaku di rumah ini. Jadilah kami pengurus. Dengan berlandaskan kepercayaan antarpengurus dan janji kekerabatan.
Manusia bukanlah sempurna. Tapi menghisap sampoerna pula bukan manusia. Harus filter! Baiklah, itu merk rokok. Lupakan. Ya, pula dating salahku di awal semester tujuhku. Jujur, menjadi pengurus di semester ini―bagi anak pendidikan―adalah memakan buah malakama. Fokusku terbagi. Targetku terbengkalai. Menjadi guru, calon guru itu pekerjaan yang menyebalkan! Toh, pada dasarnya aku tak minat menjadi guru. Susah mengatur waktu. Padahal, banyak hal yang kami bicarakan―aku dan Shelma dalam divisi kepenulisan. Hanya, kenyataan belum menuai pujian. Kritikan menggenangi kepercayaan.
Kukira kesalahan hanya pada aku dan Shelma, tapi nyatanya…pengurus yang tidak terlalu bagus. Maaf, bukan hendak menghakimi kita, kawan. Tapi, sadarkah kita adalah pengurus? Kita tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Dendam pribadi selalu kita bawa dalam forum. Aku tidak bisa menulis lebih banyak. Kukira akan percuma. Ini curhatan yang menggantung. Sebab, malam ini aku menulis sembari mengingat lirik lagu Melly Goeslow. Semoga kalian mengerti.
Kepada keluargaku, rumah kedua bagiku, mari, selesaikan pelbagai konflik dalam tubuh kita. Katakanlah dengan jujur ketaksukaan kalian terhadapku, aku selalu membawa kotak saran dan kritik sepanjang jalan. Masukkanlah segala uneg-uneg kalian. Aku menerima dengan lapang dada. Semoga kita bisa merasa, jangan sampai merasa bisa. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa.
APA LIHAT-LIHAT, KAMI AKTOR, BUKAN TELEVISI! HUH!


Salam hangat,


@andindc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...