Langsung ke konten utama

Hai! II




Alina tersayang,
Berabad lamanya aku berlayar
Mencari dermaga bahasa kalbu
Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki
yang konon menjadi rahasia langit dan bumi
Sampai entah kapan
Tak segera kutemuinya

Purnama lebih banyak kutonton di atas kano
Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas
Aku tahan lapar dan dahaga
Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan
Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku
Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau

Alina tersayang,
Tanpa radar tanpa sonar
Masih sabar masih nanar
Terkembang layar
Tergantung angin menawar
Akhirnya tersasar

Pulau-pulau tersambangi aku
Tak sedikit dari mereka mengenal cinta
Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya
Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya
Sulit sekali aku berangkat ke barat

Alina tersayang,
Kapalku menua
Sebagai kayu ia batang muda
Angin menghunus layar
Lalu laju kano entah
Samudra kenangan menjadi rapuh
Mengapung duka-suka waktu lalu

Segera
Aku ingin dermaga dengan segala
isi pulau tanpa senyum mati

Alina


Dalam Kangen, 16 Maret 2013
AIDC | 23:25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...