Langsung ke konten utama

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

Sesuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif.
Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah!


Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan


Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya seperti itulah orang-orang mendeskripsikan wajah saya. Ditambah lagi bentuk tubuh saya—yang sempat atletis—layaklah kalau disebut preman. Sayangnya, mereka menambahkan predikat baper pada saya karena tulisan saya, yang katanya, tergolong mendayu-dayu. Paling nggak, mengandung unsur perasaan yang begitu mudahnya untuk retak.
Padahal, jauh sebelum itu, saya sangat mengilhami penyair legendaris Indonesia, W. S. Rendra. Barangkali kamu tahu, Sang Burung Merak ini selalu identik dengan karya-karyanya yang sosialis, berapir-api, penuh pemberontakan terhadap kebijakan pemerintah, hingga soal cinta-cintaan yang elegan. Hal terakhirlah yang saya kiblati. Menyampaikan kegalauan dengan elegan. Sayangnya lagi, orang menilai berbeda. Fix, saya baperan. Begitulah. Lantas saya menyimpulkan, apa yang kau tulis, itulah jati dirimu. Aduh, makanya cobalah untuk lebih berhati-hati dalam menulis, apapun itu.


Tapi karena seolah lekat dengan saya, akhirnya saya mengamini predikat baperan. Meski nyatanya, baper dan sensitif itu cukup jauh berbeda


Seperti biasa, suara minoritas jelas akan tunduk pada mayoritas, terlepas benar-salahnya. Umum terjadi di masyarakat kita, kan? (Bisa nggak sih, kita mengubah fenomena payah seperti ini?) Maka akhirnya, mau nggak mau, saya mengangguk ketika orang-orang menyebut saya demikian; pujangga, playboy gagal, baperan, atau apapun terkait perasaan yang menye-menye. Kendati, dalam hati saya kukuh berontak, nggak terima dengan predikat macam itu.
Padahal, kalau menarik benang merahnya, saya bisa meyakinkan semua orang bahwa saya bukanlah apa yang mereka pikirkan. Baik, sedikit saya luruskan. Saya lebih suka dengan istilah sensitif—bukan merek test pack, ya! Kalau kamu berkenan untuk membuktikan dan merelakan waktu dan kuota internetmu, cobalah untuk memeriksa laman Instagram atau blog saya. Kamu bisa melihat sendiri bagaimana saya menyampaikan segala sesuatu dengan penuh emosional secara rinci. Bukan hanya perkara cinta-rindu-senja belaka. Kemudian inilah yang saya sebut sensitif, bukan baperan. Bahkan, KBBI pun membedakan antara sensitif dan baper.

sen-si-tif /sésitif/ a 1 cepat menerima rangsangan; peka. 2 ki mudah membangkitkan emosi. (KBBI edisi IV)
ba-per /bapér/ ki gampang galau; sing terbawa perasaan. (anonim)

Maaf, ternyata KBBI belum memiliki makna untuk istilah baper.
Sensitif, secara harfiah, memang demikian artinya. Tentu sangat jelas berbeda dengan baper atau terbawa perasaan. Karena emosi dalam tajuk sensitif nggak cuma persoalan cinta dan air mata. Lebih dari itu, emosi terkait segala tentang perasaan. Sensitif, itu berarti mudah untuk merasa iba, kasihan, dan empati pada orang lain. Itu yang saya rasakan.
Sementara baper, lebih dekat dengan perasaan kuyu yang lemah, payah, dan menyedihkan karena gundah hati belaka. Segala hal yang berkaitan dengan perasaan mengenaskan. Tapi seperti membatu, orang-orang tetap menyebut saya baperan.


Mungkin sebuah pengalaman $F&C#K$% saya yang membuat orang-orang menilai saya demikian. Tapi saya nggak akan bercerita soal ini, ya!


Barangkali juga, kejadian beberapa waktu lalu dalam sejarah tumbuh-kembangnya Hipwee, adalah faktor pamungkas bagi orang-orang menamai saya demikian. Percayalah, pengalaman ini sebenarnya nggak bisa dijadikan landasan bagi mereka untuk menilai saya. Tapi lagi-lagi, begitulah kenyataannya. Begitulah penilaian. Orang akan menilai diri kita atas apa yang kita lakukan, atas reaksi kita dalam menghadapi sesuatu, dan atas segala hal yang berkaitan dengan kita.
Maka dari itu, sebagai pembelajaran buat kamu; cobalah untuk tetap tegar di depan banyak orang, terlebih di lingkungan kerja profesional. Apapun yang terjadi dalam kehidupanmu, buatlah seolah hari-harimu selalu menyenangkan. Pencitraan? Ya, kadang, pencitraan itu ada baiknya kok.
Seperti pepatah Jawa mengatakan, witing tresna jalaran saka kulina. Oleh sebab kebiasaan, lambat laun saya pun menikmati predikat ini dalam diri saya. Toh, nggak ada salahnya menjadi seorang yang baperan (baca: sensitif), kan? Selama kita bisa melampiaskannya dalam bentuk positif dan nggak merugikan orang lain, kenapa harus urung?


Curhatan ini telah dimuat di hipwee.com dalam #hipweejurnal. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai

Mama, Biarkan Anak Lelakimu Sesekali Mengkhawatirkanmu

Hai, Ma. Sepekan bagai lorong panjang nan gelap Kau tahu sejak dulu, bahwa ketakutan Pendar berkat air mata yang tulus Sebab cinta yang begitu kuat Sebab rindu yang terlalu berat Sebab, di labirin tentu sedia Lapang jalan untuk melangkah Hai, Ma. Setepat ini hari, Izinkanlah aku mengkhawatirkanmu Meski hanya doa dalam rindu yang melaju Biarkanlah dokter dan suster merawatmu, Ma Juga, abaikanlah cibiran para tetangga Toh, mereka cuma tinggal dalam kerangjang belanja Bukan mereka yang turut berdoa, ikut bekerja Hai, Ma. Biarkan aku kali ini Mengkhawatirkanmu lewat doa Lalu akan kukirim ke labuhan bahasa cintamu yang sentosa! Jogja, 18 Februari 2016 @ andindc | 21:43

Nunung, Si Gadis yang Ingin Beranjak Dewasa

Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk menjadi dewasa dengan beragam cara. Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu. Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat? Masa perkenalan yang sangat genit. Jadwal kuliah menjadi alibi paling klise memulai percakapan yang terkesan sulit. Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha Masa Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak, memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lu