Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan
kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari
nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk
menjadi dewasa dengan beragam cara.
Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu.
Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat?
Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha |
Masa
Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam
barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak,
memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih
jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lulus sekolah menengah,
dan merasa sudah cukup dewasa, memerhatikan seorang perempuan gendut
cantik dalam ruangan itu, Aula S, UNJ.
Perempuan
itu bukanlah yang paling cantik di dalam gedung pengap tersebut (serius, awal
saya masuk, Aula S itu begitu pengap. Terlebih MOS saat itu pada bulan puasa).
Tapi, karena seorang laki-laki yang akhirnya menjadi sahabat saya mengatakan bahwa
perempuan itu paling cantik dan tipe perempuan yang dia sukai, ya sudah. Entah
bagaimana ceritanya, kami semua hampir sepakat. Meski pada akhirnya, mata saya
tertuju pada satu perempuan lainnya yang lebih menarik daripada perempuan gendut
semok tersebut. (Baiklah, yang ini hanya
saya dan Nunung yang paham)
Seingat
saya, hari terakhir kami mengikuti MOS, seorang kawan, berinisial Azmi,
memberanikan diri untuk bertukar nomor ponsel dengan perempuan tersebut. Konon,
Azmi-lah, laki-laki pertama di gerombolan kami yang berhasil mendapatkan nomor
perempuan itu. O, ya. Perempuan itu bernama Widy—yang kemudian saya panggil
Nunung, sebab saya pernah mendengar Ayah dan Ibunya memanggil Widy demikian.
Terlebih, postur tubuhnya juga tak beda jauh dengan anggota Srimulat asal Solo,
Nunung.
Sebagai
catatan, kami (saya, Azmi, Aris, Ridho, hingga Kiki dan Hazmi), tak ada yang
pernah berkenalan secara langsung dengan Nunung pada saat itu. Hanya saja, kami
mengetahui namanya ketika Nunung berkenalan di depan semua mahasiswa jurusan sebagai
ketua angkatan, bersama Azmi.
Singkat
cerita (karena saya sedikit lupa atau bahkan sengaja menghilangkan bagian
krusial ini), dekatlah saya dengan Nunung. Jelas, saya yang memulai semuanya.
Sebagai lelaki, saya bersedia menerima tantangan dari ketiga sahabat saya untuk
berkenalan dengan Nunung.
Saya
ingat betul bagaimana saya berkenalan dan memulai percakapan melalui pesan
singkat. Saya menanyakan tentang jadwal kuliah semester pertama. Sebab saya
selalu tak pernah ingat akan jadwal kuliah, dan saya pikir, karena dia
perempuan, sudah seharusnya dia tahu segala hal soal perkuliahan. Saya pikir demikian.
Dan benar, perkenalan kami dimulai dari basa-basi jadwal kuliah.
Selebrasi ulang tahun di Puncak. |
Beberapa
bulan setalah melewati masa perkenalan akademik dan tetek-bengek, kami kian
dekat. Bukan hanya saya dan Nunung, melainkan saya, Azmi, Aris, Ridho, Kiki,
Hazmi, dan kemudian disusul oleh Yoga. Meski pada episode selanjutnya Hazmi
kian jauh dari tongkrongan karena alasan akademik (bullshit!)
Benar
kata orang bahwa masa SMA adalah masa yang tak akan bisa mudah dilupakan. Tapi
masa kuliah adalah masa yang juga sulit untuk tak diingat. Percayalah,
pertemanan kami makin erat seiring berjalannya waktu dan intensitas pertemuan
kami yang begitu tinggi. Mengingat kami satu jurusan dalam perkuliahan.
Terlebih saya, Azmi, dan Nunung berada dalam satu kelas yang sama, yang mau tak
mau mengalami nasib yang hampir serupa. Sementara, kami tinggal dalam satu
kamar indekos yang sama. Lebih tepatnya, saya dan Kiki. Yang lain hanya numpang
bermalam hingga berhari-hari.
Duh.
Sebenarnya saya begitu malu menceritakan soal kamar indekos saya dan Kiki yang
per bulan hanya wajib membayar sewa tak lebih dari 200 ribu rupiah. Harga yang
sangat amat murah untuk tempat tinggal di pinggiran Ibukota. Meski demikian,
kamar indekos kami menyimpan berjuta kenangan gila yang tentu tak akan bisa
dilupakan oleh kami, para saksi bisu kosan Bude (bahkan sampai sekarang saya
tak tahu siapa nama asli Bude).
Kembali
lagi, pertemanan kami berubah menjadi persahabatan yang begitu kuat. Di mana
ada saya, di situ ada Azmi, di mana ada Aris, di situ ada Nunung, di mana ada
Kiki, di situ ada Ridho, dan selalu ada kami berenam. Hingga ada Yoga dan Dea—yang
pada akhirnya kami tahu, Dea adalah laki-laki yang kuliah kerja di Akbid
Sunan Giri.
Sebelum
habis tahun 2010, salah satu dari kami menjalin hubungan yang lebih dari
sekadar sahabat dengan Nunung. Ya, kami tak keberatan dengan keputusan mereka.
Kami pikir, mereka terlihat lebih cocok. Daripada
Nunung harus menjalin hubungan yang lebih dengan laki-laki lain di antara atau
di luar lingakaran kami?
Perjalanan
kami baru dimulai. Wisata malam dan jalan-jalan entah ke manapun, menjadi titik
di mana persahabat kami kian rekat. Bergantian turun ke teras untuk menemai
Nunung menjadi momen tak terlupakan selanjutnya. Sementara kami di kamar
indekos lantai dua bergantian bertarung PS dari Xbox si Kiki. Begitu
seterusnya, hingga kami pindah ke UK.
MUAAHAHAHAAHAHHAHHAAA gue ga tau kudu ngakak, terharu, atau kesel aslik XD ya Allah.. kalo di inget-inget mah miriiis.. ngegembel abis tapi seru wkwkwk
BalasHapuslanjutkeun ndrall.. plis tapi minus aurat gue.. di blur aja wkwkwk
Yah, udah terlanjur, Nung. haha :p
HapusSweet anet~ ditunggu kelanjutannya. Ingin baca 😁
BalasHapusMakasih, Unknown. :)
BalasHapus