Langsung ke konten utama

Nunung, Wanita yang Sudah Jauh Lebih Dewasa



Setelah kepindahan kami ke UK, semua kisah menjadi lebih rumit. Tapi pendewasaan kita bermula dari indekos di UK. Mulai dari jarak dalam satu kota, hingga jarak antarkota. Tapi bukan berarti saya tak akan menghadiri hari bahagiamu.

Masa kritis, masa di mana pendewasaan kita benar-benar diuji. Kalau dibilang, nano-nano ya, Nung?
Asli, ini lu kayak ibu-ibu sosialita!
Demi menjaga kestabilan negara, saya akan banyak memotong dongeng ini, dan maaf atas pihak yang kebetulan berperan dalam babak ini.

Sebenarnya, terlalu sulit saya memotong dongeng pada babak hidup ini. Periode 2011-2013 begitu menyimpan segunung kisah yang menarik. Tapi demi menjaga perasaan semua pihak, biarkan cerita ini sedikit mengalir dengan sedikit imajinasi yang silakan kalian bangun sendiri.
Sebagai tukang cerita, saya akan memulai mengisahkan air mata yang mengalir dari mata Nunung pada malam itu. Dan sejak saat itulah, saya mulai rutin mengoleksi semua kesedihan dan kebahagiaan yang ada. Meski pada dasarnya, saya tak tahu persis seberapa persentase antarkeduanya. Sebab pada satu momen, setelah Nunung dan kekasihnya bersikap dingin pada saya karena saya salah langkah atas sikap yang saya ambil untuk melerai pertikaian mereka, saya memilih untuk menutup museum kenangan yang saya bangun atas kisah cinta mereka.
Gue suka banget foto ini, karena momennya. Lu ngomelin gue soal rokok, tapi luluh pas difoto Jame.
Satu hal yang saya pelajari dari kisah cintamu, Nung, adalah bagaimana cara kita bersikap untuk menjadi lebih dewasa. Kamu mengalami masa-masa yang tak mudah untuk kamu lalui dalam hubunganmu. Terlebih, ini adalah kali pertama kamu menjalin kisah asmara yang terbilang serius. Sebab sebelumnya, kamu tak pernah mengalami jatuh cinta yang begitu dalam.
Saya paham bagaimana perasaanmu dan kekasihmu saat itu. Begitu dekat, begitu hangat. Pun saya kepada kalian berdua. Mungkin kalau saya punya banyak waktu dan ada penerbit yang bersedia, saya bisa membukukan kisah cinta kalian dalam sebuah tetralogi.
Satu hal yang saya lihat dalam hubunganmu, kalian cukup harmonis dan bahagia dengan satu sama lain. Tapi bukan pembelajaran namanya kalau tiada onak belukar yang menghadang jalan asmara kalian. Dan kebetulan, beberapa kejadian ada dalam catatan harian saya.
Sebagai chair-mate di kelas, saya mafhum sedalam apa kesedihan dan kebahagiaan yang kamu rasakan setiap hari. Kesedihan dari hal sepele, seperti yang pernah kamu Googling; bagaimana menjadi pasangan yang baik, dsb. Hingga bagaimana kekasihmu menaruh curiga dan cemburu pada saya, yang secara logika, harusnya hal itu tak pernah sama sekali terjadi. Sebab kita tahu, kamu bukan tipe wanita yang saya sukai. (HAHA)
Serta, kebahagiaan hakiki seperti setelah kalian melewati anniversary, makan malam berdua, bepergian berdua (O, iya! Ke Ancol tengah malam, dan mengirimi saya sebuah video pendek dengan dialog, “Hai, Andrall! Kami lagi di pantai loh!” dan diselingi beberapa tawa kecil), hingga hal-hal lain yang tak pernah kamu ceritakan padaku.
Lalu pada satu momen, ketika kalian sedang dalam sebuah pertengakaran sengit. Entah masalah apa, saya lupa. Tapi setelah itu, kalian bersikap dingin pada saya dalam 7 hari. Ya, saya ingat betul, 7 hari. Barulah cair setelah kita makan bertiga di Blok M pojok. O, iya, saya pesan Pecel Ayam Mbak Ayu, dan kalian pesan Mi Yamin.
Apapun itu, ini menjadi masa kritis nan manis sepanjang kisah cintamu di kampus yang pernah saya tahu. Dan kamu berhasil melewati semuanya, hingga badai derita yang tak pernah saya tahu kepastiannya. Sebab saya telah berjarak dengan kalian di masa itu.


Peran jarak yang memisahkan, peran wanita lain yang menghancurkan persahabatan.
Kita tak bisa sedekat ini.
Kedekatan kami, saya dan Nunung memang sedikit menguntungkan bagi saya. Karena berkat kehadirannya dalam hidup saya, saya bisa mengenal satu perempuan yang memang tipe saya dan kebetulan kami sempat mengalami fase jodoh untuk beberapa saat, setelah delapan bulan mengenal cukup dekat.
Namun kisah asmara saya dengan seorang perempuan yang rumahnya cukup dekat dengan rumah Nunung, sekaligus teman SMA-nya itu kandas, saya terpaksa harus mencari penggantinya. Meski cukup lama saya mencari perempuan lain yang bisa menerima kebodohan dan kegilaan saya. Singkat cerita lagi, saya berhasil melewati masa sendiri yang cukup menyenangkan selama beberapa bulan.
Adalah seorang perempuan mungil nan cerdas yang berhasil saya dapatkan. Meskipun seyogianya saya menyukainya karena dia suka membaca dan menulis. Ya, dua hal inilah yang selalu ibu saya harapkan dari calon menantunya. Mungkin ibu saya Pramis; buat apa orang pandai dan berilmu setinggi langit kalau dia tidak menulis?
Intinya, saya sangat bahagia memiliki perempuan penikmat karya Mira W. ini. Tak bisa dimungkiri, saya juga bahagia menjalin kasih dengan perempuan yang juga sahabat SMA Nunung. Karena dia pun memiliki kelebihan lain, dan suka dengan Sastra lawas, macam Mara G. D. dan Marga T.
Tapi, hubungan asmara yang saya bina dengan penggila Mira W. ini nggak sebanding lurus dengan ikatan persahabatan saya dengan Nunung. Bukan karena saya lantas melupakan sahabat gendut saya, cuma karena saya memiliki pacar. Melainkan karena mungkin memang kesibukanlah yang membuat kami berjarak.
Sekadar catatan, saya sempat keluar dari kelas saya karena beberapa perbedaan, hingga akhirnya saya bergabung dengan kelas pacar saya. Dan dari sinilah semuanya bermula. Ada jarak yang begitu besar antara saya dan Nunung, sahabat saya. I’m so sorry, Nung!
Karena hal ini jugalah yang membuat saya berjarak dengan kabar dan apapun mengenai Nunung. Bahkan, saya hanya beberapa kali bisa menjenguk Ayah Nunung yang sedang sakit saat itu. Dan sesal saya, saya tak bisa menemaninya bermalam di rumah sakit. Padahal secara moral saya ingin sekali dan harus melakukannya. Tapi lagi-lagi, perasaan tak enak menghampiri saya ketika saya harus minta izin kepada pacar saya yang terlalu posesif.
Saya tak bisa gambalng menyalahkan siapapun di sini. Masalah jarak yang terbentang antara saya dan Nunung adalah pilihan dan persepsi. Sebagian orang mungkin mengira pacar sayalah yang melukis jarak tebal-panjang untuk kami. Sebagian orang mungkin juga menilai Nunung sedang hectic dengan urusannya sendiri, sehingga ia merasa tak membutuhkan keberadaan saya. Tapi pada dasarnya, hati kami masih tertaut. Selalu ada pesan singkat dan doa kuat yang saya kirim untuk dan pada Nunung. Meski sudah tak bisa seintim dulu lagi.
Parade air mata mulai menyerbu kami berdua, dengan cara dan waktu yang berbeda-beda. Dan kali ini saya tak akan mengisahkannya di sini. Biarkan kami mengubur derita kami yang telah lalu dan menjadi kenangan semu ini sendiri.
Setelah semua badai duka berlalu, akhirnya kami dipertemukan lagi sebagai sahabat dengan meminjam istilah orang pacaran, 'balikan'.


Lautan bahagia dan doa terbaik dari kami bertiga di hari paling bahagia. Nunung dan Nanas, uwooo~
Ini yang ditunggu; SAH!
Jauh hari sebelum Sabtu, 15 April 2017. Saya mendapatkan pesan singkat dari Nunung. Dengan malu-malu, dia mengawali percakapan di aplikasi What’s App.
Sedikit rinci, 28 September 2016, Nunung mengatakan pada saya tentang calonnya. Ya, saya yakin dia membicarakan tentang jodohnya. Tapi dia langsung menyanggah, Doain aja, ya, Ndrall. Gue nggak mau cerita atau ngumbar apa-apa dulu. InshaAllah kalau sudah dikhitbah, gue kabarin. Di sini, saya belum tahu makna khitbah, dan Nunung menanyakan kabar saya dan Jogja. Setelah itu, tiada lagi bahasan khitbah dan jodoh hingga awal tahun.
Minggu, 6 November 2016, kami bertemu di rumah Nunung. Sembari menjenguk Mama dan memberikan kado lebaran sekaligus ulang tahun untuk Nunung, kami melepas rindu. Seperti bertemu mantan, kami sangat canggung. Bayangkan, sepasang sahabat yang sudah beberapa tahun tak bertemu, padahal masih dalam satu kota yang sama waktu itu. Jujur, saya sangat bahagia ketika kami bisa bertukar sapa dan cerita. Terlebih saya melihat Nunung makin lebar. Tanda bahwa dia pun bahagia dengan kondisinya, meski masalah terus menerpanya. Wanita paling tabah nan tegar yang pernah saya kenal.
Minggu, 8 Januari 2017, Nunung menyapa saya lagi lewat What’s App. Ya, hanya sapa, yang kemudian tak berbalas olehnya. Baru pada keesokan harinya, saya menyapanya terlebih dahulu. Senin, 9 Januari 2017, 10:32 WIB, Nunung memberi kabar bahwa pada tanggal 28 bulan itu dia akan melangsungkan khitbah. Gue tanggal 28 inshaAllah khitbah, Ndrall. Doain, yaa! Dan di sini saya baru tahu arti khitbah. Awal tahun yang sangat menyenangkan. Awal kebahagiaan bagi Nunung. Sayangnya, saya belum tahu bahkan kenal dengan calonnya. Hmm.
Jumat, 24 Februari 2017, tiba-tiba Nunung mengabari saya bahwa 15 April tahun ini dia akan melangsungkan pernikahannya, bersama Annas, lelaki jangkung yang terlihat begitu sopan dan santun dari fotonya di Instagram.
Singkat cerita, saya berangkat ke Ibukota pada Kamis, 13 April 2017. Sembari menjenguk Babeh Sarman pascaopname, saya pun melepas rindu bersama teman-teman dan sahabat terbaik saya di Utan Kayu. Ya, Utan Kayu memang menyimpan begitu banyak kenangan. Kalau boleh lebay, UK adalah samudra kenangan yang siap menenggelamkan saya kapanpun ia mau.
Asli, ini masih ngantuk. (sekaligus eksis)
Pagi buta, 15 April 2017. Saya dan Kiki yang belum tidur cukup di UK harus berangkat segera ke Halim Perdanakusuma pagi itu, sekitar pukul 05:30 WIB. Bersama Mas Uyo, kami meluncur dengan haha-hihi—dan banyak kantuk di pelupuk mata—serta celana abu-abu yang kami kenakan. (Apa perlu saya menceritakan bagaimana perjuangan saya dan Tira Hardaning mencari sebuah celana abu-abu di Jogja yang senada dengan dasi dan suspender yang telah Nunung sediakan? Nope)
Ini momen paling haru.
Saya merekam bagian-bagian penting dalam momen indahnya. Sekaligus ini menjadi pengalaman pertama saya mengikuti prosesi pernikahan secara lengkap dan khitmad. Saya jatuh pada saat momen Nunung minta restu menikah kepada Mamanya. Berjuta kepala tertunduk dan air mata menggenangi rona wajahnya. Tak terkecuali saya dan beberapa orang yang berada dalam ruangan itu. Lalu saya teringat dua perempuan terkasih saya; Allsay dan Alltra, bagaimana kelak kakak dan adik perempuan saya menikah? Siapa yang akan mereka mintai restu seperti ini?
Setelah itu, Nunung dengan gaun yang sepertinya sesak ia gunakan, berjalan menuju sebuah meja yang sudah dipenuhi oleh penghulu, dua saksi, dan calon suami (Eh, entahlah, siapa saja mereka. Ada lima orang di sana). Lalu kalimat saya terima nikah dan kawinnya…, semua rasa bahagia pecah di udara. Beberapa orang bertepuk tangan, sebagian sibuk mengabadikan momen indah itu, dan satu orang tertidur di bangku paling pojok gedung Griya Ardhya Garini pagi itu. Saya pun sempat meneteskan air mata bahagia, tapi lekas saya usap.
Entah kenapa, saya merasa momen di hari Sabtu nan cerah itu menjadi babak paling mendebarkan sekaligus membahagiakan bagi saya. Padahal bukan saya yang menikah, apalagi yang mengeluarkan dana tabungan untuk menyewa semua urusan pernikahan itu. Entahlah, saya larut dalam bahagia yang Nunung dan Annas rasakan. Begitu banyak doa yang kami sertakan pada kalian.
Kamu tak perlu berterima kasih dengan ucapan atau mengetikkan vokal dan konsonan begitu panjang pada pesan What’s App kita agar terlihat dalam. Sudah kukatakan berulang kali, kami melakukan semua ini hanya karena kamu.
Karena mereka memaksa dan saya mau.
Jelas, kami tak hanya sudi mendengar dan menyimak air matamu yang ruah dalam kesedihan, memberi pukpuk pada pundakmu, meregangkan dada dan bahu untukmu merebahkan lara. Tidak, Nung. Kami juga senantiasa ingin merasakan air mata haru yang kamu rasakan di hari paling bersejarah dan membahagiakanmu. Kami juga ingin menyaksikan kebahagiaanmu. Apakah enam tahun waktu yang kurang untuk kami bersahabat dengan cerita dukamu?
Rasanya cukup enam tahun lebih kami menjadi saksi bisu bagaimana kesedihan dan pesakitan merenggut semua waktumu. Kamu ingat bagaimana kami—satu per satu—menemanimu mengusap kesedihanmu pada larut malam? Di tugu depan kampus malam itu, di bangku kantin yang mulai meredup lampunya, dengan sesekali Pakde menegur, Ayo, pulang. Warung mau saya tutup nih!, atau tempat dan kondisi lainnya yang penuh dengan air mata. Cukup, bukan?
Membagi kebahagiaan.
Kini saatnya kamu berhak mendapatkan apa yang sepatutnya kamu dapatkan. Mungkin nasihat dari kami tidak selalu kamu dengar, tapi doa dari kami selalu turut dalam langkah kakimu.

Mulailah belajar menjadi istri sekaligus ibu yang bijak, ya!
Sekali lagi, selamat, Nunung Nanas!
Akhir cerita, maaf kalau ada kata yang luput dari hati, babak yang mengorek luka, dan fakta yang kurang akurat. Sejatunya, saya hanya ingin mengucapkan selamat berbahagia, telah melewati masa-masa absurd bersama saya.


Yogyakarta, 19 April 2017


Your Familyzone,
Andrall Intrakta DC | 00:30

Komentar

  1. ANDRAAAAAAALL T.T :""(((((

    nangis iiih gue bacanyaaa nyeseeek jadi flashback semuuuaaaa X(

    Barakallah ndrall.. makasih ya untuk reminder dan diary singkat ceritaku-nya dalam penggalan ingatanmu... cukup kita dan Allah yang paling tahu versi detail setiap chapter palung air matanya.. Bersyukur ada dirimu dan sahabat2 baik disekelilingku yang selalu menguatkan dan mendoakan. Allah Maha Penyayang masih menguatkanku dan pun dirimu dalam menjalani kehidupan dunia yang sebentar ini.

    Semoga kita lulus ujian kehidupan ini ya ndrall... semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang jauh lebih baik lagi. Semoga kita sama-sama bahagia dan selamat dunia-akhirat ndrall.. Aamiin Allahumma Aamiin ^.^

    BalasHapus
  2. Hallo kak Andrall
    Kami mengundang kk untuk menulis sebagai author kami di bozzme.com
    Silahkan jika kk berminat tinggal daftar saja ya :)

    Salam sukses selalu

    Terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk undangannya. Nanti saya akan mampir ke bozzme.com, ya. :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai

Mama, Biarkan Anak Lelakimu Sesekali Mengkhawatirkanmu

Hai, Ma. Sepekan bagai lorong panjang nan gelap Kau tahu sejak dulu, bahwa ketakutan Pendar berkat air mata yang tulus Sebab cinta yang begitu kuat Sebab rindu yang terlalu berat Sebab, di labirin tentu sedia Lapang jalan untuk melangkah Hai, Ma. Setepat ini hari, Izinkanlah aku mengkhawatirkanmu Meski hanya doa dalam rindu yang melaju Biarkanlah dokter dan suster merawatmu, Ma Juga, abaikanlah cibiran para tetangga Toh, mereka cuma tinggal dalam kerangjang belanja Bukan mereka yang turut berdoa, ikut bekerja Hai, Ma. Biarkan aku kali ini Mengkhawatirkanmu lewat doa Lalu akan kukirim ke labuhan bahasa cintamu yang sentosa! Jogja, 18 Februari 2016 @ andindc | 21:43

Nunung, Si Gadis yang Ingin Beranjak Dewasa

Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk menjadi dewasa dengan beragam cara. Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu. Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat? Masa perkenalan yang sangat genit. Jadwal kuliah menjadi alibi paling klise memulai percakapan yang terkesan sulit. Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha Masa Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak, memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lu