Langsung ke konten utama

Ini Harimu, Ma!


Ma,
Dua hari lalu muncul wajahmu dalam dengkurku
Memang agak berlebihan rupanya sebab
aku tiada dengkur tiap tidur kecuali
Ada lelah yang kumadu

Ini hari jiwamu diserukan banyak orang
Aku ingat betul tiga tahun lalu
"Selamat hari guru, Nang!
Semoga ngajarnya lancar.
Anak bangsa kau didik benar."
Tiga tahun lalu ini dialog kau kirim
Padaku dalam ruang guru sebelum kuberlalu
Masuk melewati lorong kelas, anak-anak berlarian, dan
debu berhamburan

Tiga tahun lalu aku bagai kau
Seorang bahaduri yang mengawasi tiap curang anak manusia dalam mata pelajaran
Aku ingat betul bagaimana suaramu lantang padat yakin
Semua anak mengangguk mafhum tanpa ada tanya
Seperti itu rupaku merupamu, Ma

Setahun kudian, aku melupa hari ini
Cuma kukirim pesan padamu yang sibuk mengguru
Meski kau tak pernah suka untuk menggurui
Tapi begitulah hidup, 'kan, Ma?
Tak ingin berkata, tapi terpaksa bersuara
Meski kata-kata tak lagi harus dipercaya
Sebab dusta merupa begitu hebatnya dalam pura

Setahun kudian, aku memberimu puisi
Kau suka betul dengan sajakku yang tak bersyairi
Aduh, Mama!
Itu bukan puisi, bukan pula sebungkus nasi
Apalah daya kau menyukai
Begitulah dirimu, selalu menghargai
Seorang yang membaca dan menulis
Turunlah padaku romanmu serta sukmamu

Ini hari jiwamu diserukan banyak orang
Selamat hari guru, Ma!
Kaulah guru terbaik di antara segala
Orang yang mendidikku dalam kelas
Tapi maaf, Ma, aku tak bisa menjadi yang kau mau

Yogyakarta, 25 November 2016
@andindc

Dalam foto: Bu Eni, Bu Novi, Mama, dan Bu Eka. Sahabat terbaik Mama selama ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai

Mama, Biarkan Anak Lelakimu Sesekali Mengkhawatirkanmu

Hai, Ma. Sepekan bagai lorong panjang nan gelap Kau tahu sejak dulu, bahwa ketakutan Pendar berkat air mata yang tulus Sebab cinta yang begitu kuat Sebab rindu yang terlalu berat Sebab, di labirin tentu sedia Lapang jalan untuk melangkah Hai, Ma. Setepat ini hari, Izinkanlah aku mengkhawatirkanmu Meski hanya doa dalam rindu yang melaju Biarkanlah dokter dan suster merawatmu, Ma Juga, abaikanlah cibiran para tetangga Toh, mereka cuma tinggal dalam kerangjang belanja Bukan mereka yang turut berdoa, ikut bekerja Hai, Ma. Biarkan aku kali ini Mengkhawatirkanmu lewat doa Lalu akan kukirim ke labuhan bahasa cintamu yang sentosa! Jogja, 18 Februari 2016 @ andindc | 21:43

Nunung, Si Gadis yang Ingin Beranjak Dewasa

Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk menjadi dewasa dengan beragam cara. Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu. Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat? Masa perkenalan yang sangat genit. Jadwal kuliah menjadi alibi paling klise memulai percakapan yang terkesan sulit. Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha Masa Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak, memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lu