Langsung ke konten utama

Tentang Mereka

Dia berbeda kali ini. Berbicara mengenai sesuatu yang berbeda. Entah kenapa, aku merasakannya. Ini hari bukan hari kemarin atau awal aku bertemu dengannya. Aris. Hari ini dia berani membahas tentang hal yang tak tabu bagi kami, khususnya aku. Bukan mengenai cinta, politik, atau masalah kuliah. Sastra dan tokohnya. Kami membuka forum dengan tema tersebut, di bawah payung di pelataran Seven Eleven Salemba. Tempat yang bukan daerah tongkrongan kami. Aku senang dia mulai mencintai sastra. Yang ku tahu, sejak awal kenal, dia tak pernah membicarakan sastra, apalagi tokohnya. Biasanya hanya obrolan obrolan ringan dan ledekan, atau pantat pantat indah mengagumkan yang ada di sekitar kami. Tapi tidak untuk hari ini.

Aris, dia memulai forum dengan melempar nama 'Helvy Tiana Rosa'. Hanya aku yang langsung menangkapnya. Karena aku tak asing dengan nama itu. Beliau adalah dosen kami, sekaligus sastrawan beken abad ini bagi kami. Bunda HTR - nama pena- begitu kami menyebutnya. Menurut Aris, dialah dosen dengan ideologi berbeda dengan dosen dosen jurusan kami, Bahasa dan Sastra Indonesia. Meski basicnya beliau bukan seorang guru, tapi cara mengajar beliau sungguh luar biasa. Beliau tidak mengajarkan materi yang terlalu teoritis, tetapi mengajarkan kita sebuah karakter dalam diri kita pribadi. Dan Aris mulai bercerita sesuai apa yang telah beliau tuturkan waktu di kelas Apresiasi Sastra anak nondik (non pendidikan). Bunda menceritakan tentang pernikahannya dengan suami tercinta. Konon, beliau ditanya oleh sang suami, "Dik, kamu mau tahu kenapa saya ingin menikah denganmu?". HTR belum sempat berkata sedikitpun, sang suami menjawab pertanyaannya sendiri, "Karena aku ingin kau mendidik anak - anakku. Bukan karena aku cinta pada kecantikanmu atau yang lain, melainkan kau punya karakter." kenang HTR kala bercerita di depan puluhan mata di kelas.
"Gila, kan?! Dia dosen paling keren yang pernah ngajar gue! Suka banget gue ma do'i!" kata Aris sambil meminum teh kotak di atas meja bulat yang kami kelilingi.
"Sama. Gue suka ma Dinda juga karena dia punya karakter. Gue ga mau dia jadi pacar gue. Gue penginnya dia jadi bini gue nantinya. Dia berkarakter kuat, Ris!" sahutku dengan mantab. Memang, karakter sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini menurutku.

Kembali ke 'karakter' yang telah disampaikan Bunda sebelumnya, itu sangat kontras dengan prinsip percintaanku. Itulah alasan kenapa aku sangat berharap dapat meminang Senja sebagai istriku kelak dari pada menjadi pacar. Karena apa? Karena dia memiliki karakter yang kuat sebagai sastrawan wanita, terlebih sebagai Ibu. Aku pernah mengungkapkan sesuatu kepadanya bahwa aku ingin membukukan puisi puisi kami. Dia pun demikian, kelak jika kami berada dalam satu wadah yang mendukung kebersamaan kami.

Tidak hanya sampai di sini, kini giliran aku yang bercerita sedikit tentang Bunda HTR. Tentang pendirian FLP (Forum Lingkar Pena). Beliaulah ketua dari forum yang menampung talenta-talenta penulis muda di nusantara. Taufiq Ismail selaku penanggungjawab FLP sangat mengapresiasi kreatifitas HTR untuk mendirikan forum ini. Selain itu kami bercerita - masing seputar HTR - sewaktu beliau kecil. Saat mengirimkan puluhan surat kepada Taufiq Ismail, membawakan puisi karangan Taufiq Ismail, hingga mimpi beliau ketika kecil bersama adiknya mendirikan sebuah perpustakaan untuk umum yang tidak meprioritaskan uang untuk meminjam atau menyewa buku, dan itu buku karangan mereka. Dan alhamdulillah sekarang semua menjadi nyata dan tidak hanya sebatas angan masa kecil. Aku, Dhea, Jay, dan Aris sangat antusias ketika bertukar sedikit pengetahuan tentang sastrawan yang kami kenal.

Lalu Dhea beranjak mengenalkan Raditya Dika kepada kami, yang sesungguhnya kami telah mengenalnya, meski sebatas tahu. Dia mengaku bahwa Raditya Dika lah yang mempengaruhi kehidupan dia menulis. Dialah inspirator bagi Dhea. Satu kutipan yang paling dia suka dari buku Raditya adalah "Ketika aku turun dari kereta ini, aku akan menyelesaikan semua masalah ini". Bercerita sedikit tentang kutipan itu. Ketika Raditya sedang dirundung masalah percintaan dengan seorang gadis. Mereka putus di tengah janji "Jarak tak akan memisahkan hubungan kita". Dan ternyata ketika Raditya pergi ke suatu tempat yang cukup jauh dan lama kembali, kata putus mencekik hatinya. Selama di kereta, dia memasang mata ke semua penumpang yang ada di sekelilingnya. Dia mendapat hipotesis yang menurut pribadinya adalah benar. Mungkin seorang pria separuh baya yang ada di sampingnya yang sedang melamun, tengah memikirkan kematian anaknya. Atau sepasang sejoli di belakangnya sedang bertengkar. Dan yang lainnya. Raditya akhirnya mengambil kesimpulan bahwa semua orang memiliki masalah meski dari luar tampak biasa biasa saja. Dari sinilah dia berkata seperti itu. Sungguh luar biasa.

Aku tak mau kalah, aku juga mempunyai jargon atau kutipan yang ku akui adanya. Yaitu kutipan dari sebuah maha karya sang maestro, WS Rendra, yang berjudul "Hai, Ma". Pada bait ke berapa aku lupa, yang bertuliskan: "Hidup memang fana, Ma". Aku mengamini sajak itu. Karena memang hidup itu fana. Tak ada yang abadi. Tak ada yang seutuhnya nyata. Aku percaya itu. Hidup itu layaknya dunia maya, yang hanya bisa dinikmati dalam sekejap mata. Ada satu lagi sajak dari Rendra, "Aku ingin kembali ke jalan alam". Yang ku artikan sebagai taubat. Ketika aku sedang jatuh, rapuh hati dan fisikku, aku bisa bangkit berkat makna puisi yang tersirat dari puisi beliau. Beliaulah yang membuatku tertarik untuk bergelut di dunia sastra dengan masuk di UNJ jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejak aku bisa membaca – 4 tahun – aku mulai menggilai karya karya WS Rendra. Itu semua juga berkat Ibunda tercinta yang pernah bermain satu panggung dengan beliau. Aku sangat mengaggumi dua sosok ini: Ibunda dan WS Rendra/ Tapi sayang seribu sayang, Burung Merak telah terbang ke langit, hingga lupa daratan, dan menetap di taman keindahan. Betapa bahagianya mereka yang sempat berjabat tangan dan duduk dalam satu meja bersama Sang Maestro pujaanku. Aku iri dengan mereka. Dalam satu atap Bengkel Teater, di bawah komando si Burung Merak - julukannya - langsung. Tak tergambarkan olehku kenikmatan seperti itu. Andai aku bisa berada dalam satu panggung dengan beliau, akan ku tunjukan kesungguhanku dalam dunia teater.

"Lo tau kenapa gue masuk UNJ Bahasa dan Sastra Indonesia? Karena gue pengin gabung sama Bengkel Teater beliau! Tapi sayang, beliau pergi sebelum aku sampai." kenangku sedih kepada Aris, Dhea, dan Jay.
"Gue pengin jadi penerus beliau, bradda. Mungkin gue mulai dari sebuah kumpulan cerpen atau novel. Lalu jadi penulis skenario, dan akhirnya jadi aktor teater dan pendiri Teater Rasta. Do'akan aja ya". Inilah do'a tiap nafasku. Semoga ini bukan hanya dalam angan, tapi pada prakteknya pun demikian.
"amiiiinnn" sahut anak anak.

Perbincangan semakin seru. Senja pun mulai enyah tergantikan malam. Hingga sebungkus Filter habis oleh kami berempat. Beberapa gelas Nescafe pun kering tak bersisa sama sekali. Entah kenapa kursi ini rasanya lengket dengan pantat kami. Berat untuk ditinggalkan. Dan meja di depan kami ini masih angkuh untuk menopang berat beban gelas dan sampah yang berserakan. Mereka bersahabat. Aku pikir mereka juga cinta damai dan suka mendengarkan forum kami. Itulah alasan kami tak tergesa gesa meninggalkan tempat ini. Kami melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda karena Aris pergi membeli minuman lagi. Haus mencekik pita suara kami. Dan Dhea ke toilet, serta Jay yang sibuk SMSan entah dengan siapa. Sampailah malam mulai pekat, bulan bintang telah mengorbit melaksanakan tugas, kendaraan lalu lalang keluar masuk Seven Eleven tak terhitung berapa kali. Mungkin lebih dari 50 motor dan mobil telah bergantian parkir di teras samping kami berdiskusi. Akhirnya kami hanya bisa berserah diri kepada sang waktu. Semoga masih ada pertemuan untuk kali keduanya bagi kami berempat. Dan kembali, Hidup memang fana, kawan.. 


***Tapi tetap WS Rendra yang selalu ada di hatiku. Meski dia telah terbang jauh, tak ‘kan ada yang bisa menggantikan posisinya, selain Dinda Hayati Nufus. 



Jakarta, 6 Maret 2011
Andrall Intrakta DC
03:30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...