Langsung ke konten utama

Pulanglah, Wanitaku, Temui Berai Air Mata

1
Wanitaku
Ada masa di mana rencana ke depan bukanlah urusan remeh temeh. Bukanlah pula aku tak memikirkannya. Tapi keharusan untuk menanggalkannya di rak buku juga tak bisa kuabaikan. Kita telah mafhum bagaimana cinta yang bernas menggigilkan ilusi. Intuisi getir mendewa di pangkal lidah, menyeka kerongkongan, menyekat syarafsyaraf, dan meringankan tugas pembuluh darah, agar sirkulasi melaju lamban. Itu berarti, kesunyian mendamba di ujung purnama.

2
Wanitaku
Perihal kita tunduk pada perut gunung, ialah bukan kerna kita kehabisan stok air minum atau kram yang membikin kita keram di tempat. Tidak, jangan salah. Kita menapak pada batu yang sama dan benar. Tujuan mendaki dan mencapai puncak, mencium bau keabadian cinta, dan sekadar mengambil potret bersamanya, tentu hadir di awal petualangan kita. Sebelum barangbarang tersempalai di lantai dan kita jejalkan dalam tas, tentu, tujuan kita sama setelah sampai puncak; turun dengan bahagia.

3
Wanitaku
Jangan lagi kau sesalkan malam datang hujan di atap ranjang. Di tenda tak ada ranjang. Apalagi ranjang pernikahan. Istilah itu hanya untuk orang dewasa, untuk mereka yang telah menyelam manis-asam duniawi. Kita terlalu belia. Kita terlampau ranum. Kita belumlah terbit cahaya setelah petang menjelma nelangsa. Belum lagi, tagihan moyang kita; penerus tanah leluhur. Kukira aku merasa, semainmain inikah pelik percintaan?

Sudah larut, Sayang, pulanglah temui berai air mata di surga.


UK, 18 Mei 2014
@andindc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...