Langsung ke konten utama

Sebuah Surat yang (Belum) Usai

Papa,
Hari ini aku akan diwisuda
Kutulis surat padamu jauh sebelum harinya
Agar kau tahu betapa aku harap dan doa
Sebagaimana harusnya itu terjadi

Papa,
Kali ini aku tak akan mengada-ada soal berita
Di sudut koran di kotamu sana
Kudengar kau telah berkeluarga
Entah burung mana membawa air mata
Tapi kurasa tak semuanya melempar dusta
Aku turut bahagai dengan pulihmu
Dua tahun silam, terakhir dan pertama
Kau kirim sapa pada Bumi
Kau kirim kenangan pada Matahari
Kau kirim terang pada Bulan
Kau kirim sepaket suka-duka pada kami
Kau ingat, kan, Pa?

Papa,
Untuk ujung senja ingin sekali kutagih janjimu
Janji kita di awal petang
Sebagai penambal luka sebagai
penghapus masa renta
Atau sekadar basa basi yang tak segera terlaksana
Kau masih ingat, kan, Pa?
Betapa masa-masa menjadi kata-kata
Mengawang di udara
Membara di pelupuk mata

Makna menjadi modus imperatif
bagai aku laku keliru
Apa benar, ayah kencing berdiri, anak kencing berlari?
Ah, kau tak kunjung sadar, Pa
Pepatah leluhur yang kusesal sepanjang sore
Kurasa tak ada salah dengan ketakpastian
Begitu katamu terucap
kata-kata lantas melangit lepas makna
Kau tahu soal polos, kau tahu soal lugu
Kau tahu sejak dulu, betapa mimpi kanak-kanak
kuasa kau tutup dengan senym
Pa, aku bukan kanak tetangga
Aku lahir dari rahim kesenian
dari kertas-kertas usang
dari kain-kain perca
dari cat warna-warni
dari gabus berbagai ukuran
dari siluet cahaya pementasan

Papa,
Surga bukan dan belum jadi rumah nyaman bagimu
Tapi neraka di ambang jendela adalah
rumah terteduh bagi kami
Tiga wanita dalam kantuk yang sama
Meski sungguh aku bukan wanita
Kau tepikan kami pada arkitraf jendela
Sambil lalu terbang kau kepala tegak
Kau pikir kami apa? Debu?

Papa,
Sering aku mengelukan batinku dari sepinya kesedihan
Pada fajar getir, terpercik aku bisa kenyataan
Ia membangunkanku
; sungguh kesetiaan hanya lahir pada sadar hati



UK, 19 Juni 2014
@andindc | 09:04

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...