Langsung ke konten utama

Postingan

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert
Postingan terbaru

Nunung, Wanita yang Sudah Jauh Lebih Dewasa

Setelah kepindahan kami ke UK, semua kisah menjadi lebih rumit. Tapi pendewasaan kita bermula dari indekos di UK. Mulai dari jarak dalam satu kota, hingga jarak antarkota. Tapi bukan berarti saya tak akan menghadiri hari bahagiamu. Masa kritis, masa di mana pendewasaan kita benar-benar diuji. Kalau dibilang, nano-nano ya, Nung? Asli, ini lu kayak ibu-ibu sosialita! Demi menjaga kestabilan negara, saya akan banyak memotong dongeng ini, dan maaf atas pihak yang kebetulan berperan dalam babak ini. Sebenarnya, terlalu sulit saya memotong dongeng pada babak hidup ini. Periode 2011-2013 begitu menyimpan segunung kisah yang menarik. Tapi demi menjaga perasaan semua pihak, biarkan cerita ini sedikit mengalir dengan sedikit imajinasi yang silakan kalian bangun sendiri. Sebagai tukang cerita, saya akan memulai mengisahkan air mata yang mengalir dari mata Nunung pada malam itu. Dan sejak saat itulah, saya mulai rutin mengoleksi semua kesedihan dan kebahagiaan yang ada. Meski p

Nunung, Si Gadis yang Ingin Beranjak Dewasa

Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan kita di pertengahan tahun 2010 lalu. Masa di mana kita sama-sama berjuang dari nol, mengenai kehidupan fana ini. Masa di mana kita benar-benar ditempa untuk menjadi dewasa dengan beragam cara. Sedikit cerita, tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan saya menuliskan kisah absurd kita selama beberapa tahun terakhir; dari mengenalmu sebagai orang asing, menjadi saksi tangismu, hingga menjadi pagar betis di hari bahagiamu. Hai, Nung! Masih adakah cerita ini yang kamu ingat? Masa perkenalan yang sangat genit. Jadwal kuliah menjadi alibi paling klise memulai percakapan yang terkesan sulit. Ini pas semester ada matkul Pendidikan Agama. Haha Masa Orientasi Mahasiswa (MOS), Agustus 2010. Siang itu, saya yang tergabung dalam barisan para mahasiswa yang belum saya kenal sama sekali, tapi terlihat begitu kompak, memusatkan pandangan pada satu titik (entah titik, entah bulatan). Lebih jelasnya, kami yang notabenenya laki-laki, baru saja lu

Mus dan Gadis Penenun Hujan

Sebuah cerita untuk seorang gadis di sebuah kota imajinasi “Harus berapa kali kukatakan padamu, Mus?” “Tidak. Selalu tidak yang kukatakan padamu, bukan?” “Kau mengorbankan seluruh orang hanya karena dia?” “Ya…” Percakapan yang telah menjadi santapan setiap hari baginya, bagi seorang gadis kecil yang kini telah dewasa dalam usia. Meski tahunan telah ia lewati, tapi itu tak mengubah apapun, terlebih pandangan kedua orangtuanya. Sumber foto: https://01varvara.wordpress.com KONON, keriaan merupakan udara segar yang terus berembus di perkampungan ini. Keriaan bagai melakukan panen setiap hari, meski padi, jagung, bahkan bawang tak mungkin bisa dipetik setiap saat. Tapi seperti itulah kebahagiaan bagi masyarakat kampung ini. Tidak ada air mata yang sia-sia di sini. Kau tentu tahu cerita ini, bukan? Cerita yang turun temurun menjadi kenyataan yang dikisahkan pada anak-anak di kampung ini setiap menjelang tidur dari orangtuanya. “Lalu, kisahkan pada kami tentang kesi

Ini Harimu, Ma!

Ma, Dua hari lalu muncul wajahmu dalam dengkurku Memang agak berlebihan rupanya sebab aku tiada dengkur tiap tidur kecuali Ada lelah yang kumadu Ini hari jiwamu diserukan banyak orang Aku ingat betul tiga tahun lalu "Selamat hari guru, Nang! Semoga ngajarnya lancar. Anak bangsa kau didik benar." Tiga tahun lalu ini dialog kau kirim Padaku dalam ruang guru sebelum kuberlalu Masuk melewati lorong kelas, anak-anak berlarian, dan debu berhamburan Tiga tahun lalu aku bagai kau Seorang bahaduri yang mengawasi tiap curang anak manusia dalam mata pelajaran Aku ingat betul bagaimana suaramu lantang padat yakin Semua anak mengangguk mafhum tanpa ada tanya Seperti itu rupaku merupamu, Ma Setahun kudian, aku melupa hari ini Cuma kukirim pesan padamu yang sibuk mengguru Meski kau tak pernah suka untuk menggurui Tapi begitulah hidup, 'kan, Ma? Tak ingin berkata, tapi terpaksa bersuara Meski kata-kata tak lagi harus dipercaya Sebab dusta merupa begitu hebatnya

Ruang I

Ada masa-masa di mana ruang menjadi begitu vital Bukan perkara dua anak kecil berebut bantal Atau molek tubuh istri tetangga yang sungguh sintal Bahkan keringat para petani yang panennya gagal Lebih dari itu, Seorang perlu membiarkan punggungnya gatal Ke manapun toleh pandang menyalang Selulit merambat dari meja kerja Balita gerung di tetek ibunya meronta-ronta Begitu sulit betapa kernyit Kening yang kerut semakin menyusut Para jompo berlomba cari gadis tunasusila Ke manapun toleh pandang menyalang Kekasih, ruang ialah perihal makna Kata-kata bukan lagi pemanis makanan atau minuman kesukaan Lebih dari itu, Ruang merupa roman berlendir siap buang Ada masa-masa di mana ruang menjadi vital Seperti elang, tumbuh gagah dan perkasa Membiarkannya bertengger di muka jendela Kita tak ditakdirkan untuk memperdebatkan Duduk-diri seekor burung, bukan? Jadi sedemikian rupanyalah ia menjelma Ada masa-masa di mana ruang harus maujud Ada masa-masa di mana ruang harus terwujud Di luar atau di bad

Wanita yang Mencoba untuk Sintas dalam Sinjangnya

untuk: seorang penulis Hipwee  Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya Bagaimana bisa aku mencintaimu pagun Bilamana ada pertemuan di antaranya *** Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya Begitu kau tampak di balik terawang-remang Mungkin jarak kedua alismu yang renggang Mungkin lipatan baju kemejamu yang tiada menjadi persepsi yang mendasar tentang persoalan pembagian ruang Sekukuh angsana selebat hujan sebelumnya Kau tampik selir menyelir udara Kau tolak segala guruh samudera Sementara ketika udara resap dalam tubuh dan cuaca bagai sepucuk teluh Bersatu dengan sukma Bergelut dengan raga ; Mau apa? Bisa apa? *** Seperti sore itu, sebuah tanya di ujung daun Limbung kerna tetes air hujan sebelumnya Maka itulah tanyaku; memerhatikanmu dari jauh dari pandang yang tak pernah kau sentuh Yogyakarta, 1 November 2016 Andrall Intrakta DC