Sebuah cerita untuk seorang gadis di sebuah kota imajinasi
“Harus berapa kali kukatakan padamu, Mus?”
“Tidak. Selalu tidak yang kukatakan padamu, bukan?”
“Kau mengorbankan seluruh orang hanya karena dia?”
“Ya…”
Percakapan yang telah menjadi santapan setiap hari baginya, bagi
seorang gadis kecil yang kini telah dewasa dalam usia. Meski tahunan telah ia
lewati, tapi itu tak mengubah apapun, terlebih pandangan kedua orangtuanya.
Sumber foto: https://01varvara.wordpress.com |
KONON, keriaan merupakan udara segar yang terus berembus di
perkampungan ini. Keriaan bagai melakukan panen setiap hari, meski padi,
jagung, bahkan bawang tak mungkin bisa dipetik setiap saat. Tapi seperti itulah
kebahagiaan bagi masyarakat kampung ini. Tidak ada air mata yang sia-sia di
sini. Kau tentu tahu cerita ini, bukan? Cerita yang turun temurun menjadi
kenyataan yang dikisahkan pada anak-anak di kampung ini setiap menjelang tidur
dari orangtuanya.
“Lalu, kisahkan pada kami tentang kesia-siaan dong, Paman!” sahut
salah seorang bocah yang sedari tadi melongo di depanku.
“Wohoo. Rupanya kau terlalu kenyang akan keceriaan, ya? Baiklah,
jangan buang pandangmu!” Maka, mulailah aku bercerita mengenai seorang yang
bagai duka sepanjang hidupnya.
***
Sore yang cerah untuk rihat setelah lelah bekerja sehari tadi.
Orang-orang berbondong keluar dari sawahnya, orang-orang pergi meninggalkan
perkebunannya, orang-orang bercakap-cakap di teras rumahnya. Ada pula ibu-ibu
yang bergosip haha hihi dengan ibu-ibu lain yang juga menggendong anaknya dengan
selendang, mangkuk di tangan kiri, dan sesuap nasi dalam sendok di tangan kiri.
Sementara anak-anak berlarian di sebuah tugu yang disebut titik desa oleh
masyarakat setempat. Tidak berbahaya sama sekali, tidak. Di kampung itu tidak
ada kendaraan bermesin apapun, kecuali untuk keperluan para petani. Bahkan,
hanya ada dua mesin traktor di kampung itu, satu milik Sobrat, kepala desa, dan
satu lagi milik Naryo, orang terkaya di sana. Kendati demikian, Sobrat atau
Naryo selalu dengan sahaja memberikan traktornya untuk siapapun yang meminjam.
Tak ada biaya apapun untuk dipungut.
Sore yang penuh kebahagiaan, bukan? Begitulah yang mereka pikirkan
selama ini. Hidup selama puluhan tahun di desa ini, tentu hanya ada keriaan
berulang yang dirasakan. Dimulai sejak kedatangan kakek dari kakeknya kakek
Sobrat di kampung itu, hanya kebahagiaan yang bersisa di sana. Hendak jadi
apapun anak-anak kelak, mereka akan merasa jauh lebih nyaman dan bahagia bila
tidak merantau ke manapun juga. Di sinilah mereka merasakan arti rumah
sebenarnya. Betapa besar kecintaan anak-anak di kampung itu. Hal yang sangat
susah untuk didapatkan.
Namun, sore yang indah ini tidak seperti biasanya. Semburat jingga
bercampur ungu dan warna riang lainnya, bersahutan seperti meninggalkan
pelataran. Jarum jam yang bertengger di tugu perempatan kampung baru berhenti
di angka empat dan tiga. Ini artinya senja baru saja dimulai. Seharusnya.
Orang-orang yang tadi bercakap-cakap di teras rumah, ibu-ibu
menggendong anaknya sembari menyuapinya, bapak-bapak yang baru keluar dari
ladangnya, serta anak-anak yang berlarian di tugu, berhamburan meninggalkan
kebiasaannya. Mereka seolah berlomba dengan kaki dan waktunya menuju ke rumah
Naryo. Ya, ada suara-suara riuh dari kediamannya.
Dari balik bilik kamarnya yang terbuat dari bata setengah kayu
tersebut, terlihat jelas Naryo menggenggam tangan dan mengusap-usap kepala
istrinya, Mus, yang mengerang kesakitan. Dari pori-pori kulit keduanya
bercucuran keringat yang begitu deras. Angin senja mengembus pelan. Seakan kamar
itu begitu pengap dan gelap. Padahal hari belum petang, dan jendela sudah
dibukanya, meski ada setengah gorden yang masih membatasi pandang orang-orang
yang terus berdesakan untuk melihat Naryo dan istrinya yang tengah melahirkan.
Naryo menutup penuh jendela kamarnya dan menyalakan kipas angina yang baru saja
dia beli dari kota. Orang-orang bergeseran ke depan pintu rumahnya dengan penuh
penasaran. Seperti itulah, setiap ada seorang yang melahirkan di kampung itu.
Dibantu oleh seorang dukun anak yang usianya lebih dari seabad,
Mus bersusah payah mengejan sepenuh tenaga. Mungkin ada sedikit instruksi yang
kurang ia pahami dari Mbah Sumi untuk kelancaran proses persalinannya. Mbah
Sumi memang sudah tak cakap berbicara, mengingat usianya yang melebihi kuasa hampir
semua orang di belahan bumi manapun, ia juga tak punya dasar kemampuan yang
kompeten untuk membantu seseorang melahirkan. Tapi semua warga percaya pada
Mbah Sumi untuk keadaan darurat, apapun itu. Bukan cuma melahirkan, tapi juga
khitanan, hingga menikahkan dua anak manusia.
Mbah Sumi terus merapal—entah apa, semacam doa—untuk kelancaran
persalinan Mus. Mus terus mengerang, mengejan, menghela napas, dan terus
berulang. Naryo, seorang suami yang begitu mencintai istrinya, masih setia di
pinggir kasur, menemani dan mendoakan keselamatan istri dan calon jabang
bayinya dengan penuh sabar. Jingga di cakrawala kampung itu sayup-sayup burai
sebab erangan Mus yang begitu dahsyat. Senja menyisiri setiap inci rumah-rumah
di kampungnya. Langit seketika gelap. Hanya gulita yang menyambar.
Di kerumunan orang-orang, Sobrat, kepala desa, menyibak jubelan
warganya. Ia merangsek masuk ke dalam kamar Naryo. Dari air mukanya, Sobrat
seperti memiliki tanggung jawab atas persalinan Mus. Entah apa yang dipikirkan
Mus ketika melihat sosok Sobrat berada di kamarnya. Sebab Mus tak pernah
mengizinkan orang lain masuk ke kamarnya, terlebih laki-laki, selain Naryo.
Pikiran Mus kian kacau, perutnya kian membatu; begitu keras, begitu sakit.
Gelapnya awan gemawan yang bergejolak, petir merayapi langit sore itu.
Sementara orang-orang di depan rumahnya kian berdesakan mencari tempat untuk
mendapatkan pemandangan yang jelas. Ada pula yang berlarian memecah hujan di
pelataran rumah Naryo. Sisanya berhamburan ke rumah masing-masing. Tak ada debu
berserak, tanah basah perlahan oleh rintik hujan.
Gema halilintar terus bersenandung di atap rumahnya. Mus
kelelahan. Tubuhnya basah kuyup oleh keringatnya sendiri, pula bercampur
keringat panik suaminya. Sementara Mbah Sumi terus merapal, bibirnya pun basah
karena komat-kamit yang tiada usai. Di sudut kamar dekat lemari kayu jati yang
baru dibeli Naryo, Sobrat berdiri dengan mengatupkan kedua tangannya di depan
mulutnya. Mungkin pula dia berdoa. Entah untuk apa.
“Terus, Dik, jangan berhenti. Sebentar lagi. Ayo, kamu bisa!” Naryo
terus menyemangati istrinya. Mus menyalangkan mata, seperti hendak lepas kedua
bola matanya, mengejan begitu hebatnya. Naryo mendekap istrinya penuh kasih.
Tangis keluar dari dalam perut Mus, pada pekik halilintar
terakhir, pada gelombang angin yang menyapu beberapa rumah warga, dan pada
derasnya hujan di senja itu. Penderitaan Mus terhenti seketika. Semua yang
bergerak saat itu pun luruh seketika. Seketika pula orang-orang bergeming,
nyaris tiada suara. Bahkan desir angin pun tiada terasa, sedikitpun.
“Kunamai kau, Sekar Jaladara!”
***
Tiba-tiba senja tergulung, siul burung-burung tak lagi terdengar.
Lembayung turut memupuk rembang. Hanya bersisa suara beberapa wanita, memanggil
anaknya pulang.
“Yaaah. Bisa kau lanjutkan cerita ini esok nanti?”
“Ya, selama ada senja, di sana akan ada cerita.” tutupku mengusir
mereka.
Yogyakarta, Januari 2016
@andindc
Komentar
Posting Komentar