Rimbun kenangan yang kian kikis. Tebang, tebang! Pangkas,
pangkas!
Ada dimensi yang terlalu pekat.
Setidaknya untukku. Entah rupa apa hingga aku di arus-ke-dalamnya. Maka aku
menjadi entah.
Di sebangkai kata, cinta bagimu adalah purba, yang melambat
luruh dari cengkramanmu.
Sebegitu pantasnyakah seseorang
dibawa dalam kepekatan? Dan keluguan atas kealfaan menjadi harga mati yang
memerihkan.
“Kau ingkar dalam dusta, Alina!”
Muncul titik-titik kecemasan.
Menggumpal membentuk sketsa wajah ketakutan atas perubahan yang mengejutkan.
Aku kehabisan stok leksikal untuk menggambarkanmu, Alina.
Semacam apa kau sebenarnya? Keindahan alam yang menggila cinta, untukku.
Maka terseok kembali mencari diri
dalam ketakberadaan. Akibat yang hilang dicuri kenangan. Segala masih
tersembunyi. Segala patut kembali!
Sudahlah Alina, sudah cukup masaku menakutkan malam jahanam.
Segala dongeng hanya mitos para leluhur di balik celana dalam. Misteri, untuk
kita.
Siapa salah siapa. Entah. Namun
pasti Gusti Allah tiada pernah salah. Dia teristimewa, memenuhi janji yang
dipintapinta dahulu kala.
Kalau bumi adalah dusta, di manakah laiknya aku bersembunyi
selain dalam kata di setiap air mata? Engkau selalu kusiangi: rindu.
Dalam segala ketakutan yang
terlanjur dipatrikan, Ia muncul sebagai penolong dari ke-nol-an. Tapi sebuah
luka kadang muncul seperti pisau.
Dari jenaka hingga kini–lebih jenaka, aku memahat kata.
Armada bahasa, kata Ayahku, adalah pisau yang terus kuacungkan demi harga diri.
Salahkah?
Tajam dan menyakitkan. Menakutkan.
Menakutkan. Aku takut. Namun memaafkan adalah pasti. Semoga takut tidak mengikuti
hingga nantinanti.
Bukan maksudku mencabik cinta. Bahasaku ialah lembut jemari
merangkulmu, membawamu ke kediaman tenang, tiada tangis, tapi duka–suka pasti
satu
...
Tenanglah, Alina. Aku tiada akan merebut senjamu. Oleh
Kekasih, Ia hanya memberikannya padamu. Aku sekadar penikmat kopi di tepian
luka.
@andindc - @dindahn | 9-2-13
Komentar
Posting Komentar