Langsung ke konten utama

Sepercik Air Telaga

Untuk sang terkasih, @amalnisfi
Ingin kukuaskan tinta ini pada sebidang kanvasmu yang masih putih. Tidak ada setitik pun warna yang mengotorinya. Kanvasmu putih bersih. Kutanya, “Baru?” Kau mengangguk iya. Pada yang nyata itu, kuraba permukaan kanvasmu yang halus. Seperti yang kurasa, tak sedikit pun seratnya menusuk dan berantakan. Seakan rapi berbaris dalam sulaman seorang profesional. Hingga detil kuraba, kugesek, kubelai dengan tulunjuk, dengan jemari, dan terakhir, dengan pipiku.
Lalu...Wow! Figura kanvasmu cantik. Terbuat dari lipatan kayu berplitur bersih. Tanpa cacat dan salah, kuraba pula pinggiran kanvasmu. Coklat muda dengan kombinasi warna hitam pada garis-garisnya, mempercantik kanvasmu yang kian jelita bagiku. Aku pikir, ini pasti sangat mahal, atau bahkan kau—si empunya—tak akan menjual karena kanvas ini tak ternilai harganya. Dan kuulang tanyaku tadi, “Baru beli?” Kau tatap aku dengan jawaban yang membingungkan. Kau menggeleng. Rupanya kau membuatnya sendiri! Sungguh pekerja keras yang teliti. Semakin aku takut untuk mengotori kanvas hasil keringatmu ini.
Siapa aku ini? Seniman? Bukan. Pelukis? Hah! Aku hanya pemimpi yang hanya bermimpi untuk menggoreskan tinta di kuasku pada kanvas surgamu. Ya, aku menyebutnya kanvas surga. Sebuah kebahagian kulihat dari dalam kanvasmu. Kau bilang, ini hanya kanvas biasa. Namun, aku percaya apa yang mataku lihat. Ia mengisahkan tentang telaga yang subur dan kemurnian airnya. Di telaga itu tercipta sebuah perpaduan ekosistem yang belum pernah kulihat. Meski terlalu rimbun terselimuti oleh dedaunan yang menjadikannya gelap, tapi tetaplah itu sebuah telaga pelipur dahaga cinta.
Seorang gadis cantik nan jelita kulihat tengah bermain-main di pinggir telaga itu. Dengan jemarinya yang lentik, ia basuh kedua lengannya, lembut, dari kanan berganti kiri. Tampaknya ia tak puas hanya sekali, hingga berkali-kali. Senyum simpulnya menyempitkan pipinya yang lebih penuh daripada dadanya. Sepertinya gadis itu tak memikirkan suatu apa, hanya riang yang ia tunjukan lewat mimiknya yang teduh. Gurat di keningnya tiada, walau tertutup poni rambut tipis, aku masih mampu mendetil keningnya. Rambutnya yang sedikit ikal seperti gadis remaja kebanyakan, ia gerai dan aromanya sungguh memikatku.
“Sudah, tidak ada apa-apa di dalamnya, kau hanya butuh istirahat di rumah,” katamu.
“Aku tidak capai dan aku ingin tenggelam dalam genitnya gadis dalam kanvasmu. Hanya itu. Baiklah, aku tidak jadi mengotori kanvasmu!”
“Tidak, Tuan, kau terlalu letih berkeliling toko ini. Istirahatlah barang lima atau sepuluh menit. Akan kubangunkan kau setelah itu!”
“Tunggu, Puan! Tinggalkan aku sejenak bersama kanvasmu cantikmu. Kau boleh pergi atau menungguiku hingga selesai,”
“Aku tidak butuh pujian darimu, Tuan. Lebih dari itu, kau telah menerbangkanku jauh atas karyaku. Aku menghargainya. Tapi sekarang, istirahatlah. Biar kujaga kanvas ini untukmu,”
Gadis itu membuang pandang ke angkasa, ke kerimbunan dedaunan dan reranting yang ramping. Ia berdiri, berusaha membelah tirai daun-daun itu. Berkali-kali melompat, berkali-kali pula ia jatuh. “Lihat, Puan! Gadis itu mencoba naik ke mari, lihat!” kutarik tanganmu yang sedari tadi kukuh bersila di dada. Kau tetap mematung heran.
“Tuan, hentikan halusinasimu atau kubuang kanvas ini!” bentakmu menghentikan kekhawatiranku, tiga detik. Aku tak peduli. Kembali aku fokus pada usaha gadis pada kanvas itu yang terus berusaha merangsek naik ke atas. Kasihan ia. Betapa perjuangan yang harus dibayar atas jerih payahnya.
“Teruslah, Nona! Kau pasti bisa!” teriakku mengejutkan para pengunjung di tokomu.
“Maaf, aku hanya memberinya semangat, dan aku terlalu semangat,” lanjutku. Kau beranjak enyah dari tempat kita berdiri.
“Hendak ke mana kau, Puan?” tanyaku dengan tidak memalingkan pandangku. Karena aku tak ingin sedikit pun tertinggal momen di mana gadis itu berhasil naik dengan usahanya. Tidak ada sahutan darimu. Hanya helaan nafas panjang yang kudengar. Dan kurasa orang-orang di sekeliling kita pun mendengarnya.
Telaga yang sejuk itu kukira akan memberinya sedikit bantuan. Nyatanya, bercucuran bulir keringat keluar dari seluruh ruang tubuhnya. Seperti linangan Dewi Quan’in, tak terlalu deras, namun bulirnya sangat bening. Mungkin sebiji jagung air matanya bisa kupakai untuk bercermin atau meramal masa depan. Ah, aku terlalu terobsesi dengan dongeng para leluhur. Mana mungkin ada peramal!
Mata gadis itu tampak sembab. Bagai sebuah cermin yang retak pada segala bidangnya. Kelopak matanya sendu. Ia usap poninya yang menempel pada keningnya. Ia ulang kembali: loncat. Nafasnya mulai sengal. Dengan terus meloncat, ia hiraukan nafas. Tak henti-hentinya ia berjuang. Andai aku bisa berbagi ruang dengannya¬—ke Telaga itu. Ah, takdir macam apa ini? “Ingin sekali aku menolongnya, memberinya galah untuk ia raih dan kutarik ia ke atas sini!” gemingku kesal serta sesal. “Setidaknya kau dapat merapal do’a untuknya.”
“Benar! Aku akan mengirim do’a untuknya!” jawabku. Aku tersadar, tak ada siapa pun di sampingku, selain bayangmu dan para pengunjung yang sibuk menikmati lukisan atau bersikeras menawar harga kanvas yang terbilang cukup mahal di sini. Lantas, suara siapa tadi? Semakin percaya aku akan kisah kematian Nyai Sri toko ini—yang tewas tak wajar—yang konon hanyalah legenda, nyata adanya. Tanpa bukti dan tanda pembunuhan serta tidak adanya diagnosa beliau menderita penyakit, jasad Nyai Sri tergeletak kaku di lantai dua—tempat aku berdiri sedari tadi pagi.
Alkisah, Nyai Sri adalah petani sederhana yang cantik tiada tara di desa yang kini telah berubah menjadi pusat perbelanjaan mewah. Tubuhnya yang aduhai, membuat mata kaum Adam belangsatan matanya. Terlebih ketika Nyai Sri sedang tandur, pinggulnya yang sentosa dan pantatnya yang penuh menjadi tontonan sekaligus peremajaan mata para lelaki desa ini... Ah, hanya mitos! Itu hanya dongeng yang sering Nenek ceritakan sesaat sebelum aku tidur di pangkuannya, puluhan tahun silam.
“Tuan muda, tolong aku! Kirimlah do’a banyak-banyak, agar Tuhan mendengar rintihku di bawah sini!”
“Astaga!” kanvas itu bersuara, sempurna. Bahkan artikulasinya sangat jelas kudengar, dan dialeknya sama sekali mirip denganku.
“Puan, Puan, Puan! Tengoklah ke mari! Kanvasmu berbicara padaku! Lihat!” teriakku girang atau lebih tepatnya, takut. Aku terus memandang kanvas barumu itu. Segera akan kupastikan bahwa bukan gadis pada kanvasmu itu yang bersuara dan memohon padaku. “Halo, Nona di bawah sana, apa kau mendengarku?” kulolongkan suaraku, dan segera kuajukan telingaku untuk mendengar lebih jelas sahutannya.
“Aku mendengarmu, Tuan yang baik hati,” merintih gadis itu menjawab. Suaranya merdu, meski tersengal sekali pun. Tanpa berlama-lama, sesegera kulontarkan rapalan do’a pada Tuhan untuk keselamatannya.
Dalam do’a, penuh tanya timbul di kepalaku, mengapa gadis itu hendak beranjak dari telaga itu? Bukankah telaga itu menjanjikan kedamaian? Bukankah di sana penuh keindahan? Adakah kejenuhan dalam keindahan? Bukankah keindahan sarat akan kebahagiaan?
Entahlah, ibaku tak tertandingi oleh segala daya dan upaya untuk menyerah. Do’a tanpa usaha adalah omong kosong. Hanya pecundang yang berharap lebih pada do’a. Aku percaya pada kekuatan do’a, tapi apalah keberhasilan tanpa usaha dan hanya do’a: tiada artinya. Kucoba ulurkan tangan agar diraihnya. Tanganku mengoyakan ragu, masuk ke dalam kanvas si Puan tadi. “Mustahil!” Tanganku menembus kanvasnya. “Raihlah tanganku, Nona!”
“Terlalu sulit untukku, Tuan muda. Tanganmu terlampau jauh dari tinggi loncatanku. Tak ada ranting atau kayu di bawah sini. Pepohonannya pun tak berbatang, hanya beranting mungil. Itu pun tinggi di atas,” isaknya makin menjadi. “Tunggu sebentar, Nona, aku segera kembali!”
Kutanggalkan sejenak kanvas itu pada paku yang menguat di dinding. Ruangan ini begitu sepi. Ke mana orang-orang yang sibuk tadi? Ke mana Puan pemilik toko ini? Mengapa mereka tiada? Konspirasi macam apa ini? Argh! Berlari aku tak mengacuhkan sekelilingku. Kutendang etalase yang berisikan stick golf atau busur panah, yang cukup panjang untuk gadis tadi agar mampu meraihnya.
Kini tinggal kelengangan yang kujumpai, tidak seperti pagi hingga siang tadi. Matahari mulai menepi, senja terpampang temaram dari balik jendela. Ada belasan jendela yang akan kutemui hingga ke lantai dua, semua pula akan kulalui tanpa permisi. Urung aku menyaksikan senja hari ini, takut aku larut dalam buaian semburatnya yang hening. Aku harus menyelamatkan gadis di kanvas si empunya toko yang belum sempat kubeli namun ia telah pergi entah ke mana. Hari mulai petang, lampu kota mulai berkuasa, komplotan burung pun bergegas kembali ke sarang, ada pula yang ingin bersembunyi di balik ketiak induknya. Ada pula yang masih pulas tidur karena kerjaan yang mencekik. Tapi tidak untukku istirahat. Ada nyawa yang harus kuselamatkan.
Belum habis lariku sampai ke lantai dua, aku terjatuh pada anak tangga pertama. Waktu tak boleh tersiakan. Sebuah nyawa tergantung di bawah telaga kanvas itu, mana mungkin aku bisa bersantai di kursi goyang dengan bersandar sembari menghisap rokok dan meminum segelas kopi hitam yang cukup kadar gulanya? Tidak, tidak bisa! Tidak akan ada kursi goyang, berbatang rokok, dan kopi hitam dengan manis yang cukup. Aku harus bergerak cepat!
“Nona.. Nona.. Nona! Di mana kau?” nafasku terpotong mencarinya. Petang hampir punah. Beberapa detik lagi.... Gelap kini mengangkang angkuh, tiada matahari di barat yang biasanya genit.
Telah habis waktuku. Dua orang berbadan jangkung dan kekar menarik kanvas yang kugenggam tadi. Memintanya dengan paksa. Tapi aku menolak. “Ada nyawa di dalamnya! Seorang gadis yang ketakutan di telaga itu seorang diri meminta tolong. Beri aku sedikit waktu, sedikit saja, Tuan!” aku mengemis tanpa malu. Suatu kelakuan yang memalukan bagiku, sebenarnya. Tapi, demi gadis itu... Kebahagian yang menjemukan baginya, membawanya pergi entah ke mana, yang kutahu, dua orang berbaju satpam itulah yang membawa jasadnya.
Penyesalan yang teramat menerkamku. Aku bodoh! Kenapa tadi kubuang waktu untuk bertanya-tanya tentang orang-orang ketika toko ini telah sepi? Kenapa aku terlalu gegabah? Dan kenapa aku tak membawa serta saja kanvas itu untuk turun ke lantai bawah dan segera kukerahkan stick golf padanya? Ah, aku lemah! Tangisku pecah.
“Tuan, jadikah kau membeli kanvas ini? Dan sungguh, kau tak boleh menolaknya, karena kau telah mengotorinya!” tegurmu, si empunya toko dan pembuat kanvas.
Kulihat tintaku telah berpindah dari kaleng ke kanvas itu.
“Hai, Tuan yang baik hati, aku adalah kebahagian yang sesungguhnya, yang telah bermasa lama untuk menantimu—orang yang tepat. Namun, Tuan, kau telah berhasil menemukanku walau kau tak mampu menyelamatkanku. Jangan gentar, Tuan. Masih ada kebahagiaan yang lebih indah daripada seorang gadis pada sebuah telaga.” – Gadis Telaga Kanvas.
Sepercik air.
Jakarta, 14 Juli 2012
Andrall Intrakta DC
@andindc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...