Langsung ke konten utama

Buku (Tulis)

Perkenalan

Hai, buku baru..
Perkenalkan, namaku Andin, usiaku masih sangat belia. Namun, pemikiranku – kata orang – jauh lebih tua daripada usiaku sendiri. Tapi aku tak merasa seperti itu dan aku tak suka mereka menyebutku ‘tua’. Aku masih kanakkanak. Bahkan aku tak sempat memikirkan mimpi remajaku kelak. Yang ada hanya main, main, dan main. Sedikit berbeda dengan kebanyakan anak lainnya, aku hanya suka bermain kata. Maka dari itu, bolehkah aku menggilasmu dengan penaku, buku baru?
Buku baru, mungkin kau tak tahu bagaimana kesedihanku selama ini. Kau tahu? Aku tak punya teman atau mainan yang bisa kumainkan dan kuajak bermain. Tapi setidaknya aku selalu memiliki kertas usang dan pena kesayanganku. Apabila kertasku penuh akibat tinta penaku yang nakal, aku akan merasa kesepian lagi. Sering kali aku menangis setiap penaku tumpul, dan aku merengek minta beli. Keesokannya, ketika aku sadar dari tidur malamku, kutemui sebuah kertas tertumpuk tebal, rapi dengan sampul dan penuh warna di atasnya. Ternyata itu dari Eyang! Dan itu adalah engkau, buku baru.
Karena kau baru, kau butuh adaptasi – begitu kata orangtuaku setiap aku bertemu lingkungan baruku. Barangkali kau akan mengenaliku setelah aku melukis wajahku di badanmu, tapi aku tak mampu melukis, memilah warna saja aku tak bisa. Memang, Papa seorang lulusan Seni Rupa di sebuah Universitas ternama di negeri ini, namun tak sedikit pun darah yang ia tularkan padaku. Aku iri pada kakak tunggalku yang selalu memamerkan lukisannya di depan kelas, di hadapan juri festival lukis. Dan Mama, seorang sastrawan, yang tiap harinya hanya membacakan seuntai kalimat nan panjang yang aku tak paham maksudnya. Kadang Mama menangis, tertawa, berlumuran darah, mengemis, menjadi pelacur, disorot lampu berwarna – konon kata Eyang itu warna hati – di atas tangga yang luas berlatarbelakang kartonkarton dan kain satin. Tapi tetap saja aku tak mengerti.
Dari semua yang mereka miliki, aku hanya bisa menatapnya kagum. Tapi aku bangga jadi anak mereka. Meski tak jarang aku iri dengan anaknya yang pertama. “Lihat, itu anak kita, Pa!” Begitulah Mama berseru di kerumunan banyak orang, dengan aku duduk manis di pangkuannya beberapa tahun silam. Andai kala itu aku bisa berteriak, aku lantang berucap: “Mama, Papa, aku ingin seperti Kakak!” Tapi itu mustahil, buku baru!
Buku baru, padahal, usiaku dan Kakak tak jauh beda, hanya selang setahun usia Kakak, aku berkesempatan menyapa dunia, hanya setahun! Kata Eyang, aku tak sempat menikmati kasih sayang setetes ASI dari Mama. Entah kenapa, aku tak pernah menemukan jawaban atas cerita Eyang. Eyang selalu lari ke dapur setiap aku mencoba mengejarnya dengan serentet pertanyaan yang terus mengendap di hatiku ini. Atau memang Mama melarang Eyang untuk menjawabnya? Buku baru, besok temani aku untuk bertemu Eyang, ya! Barangkali Eyang mau menjawabnya.

Pencarian

Halo, buku baru! Apa kabar? Maaf ya, kemarin aku tak sempat mengajakmu ke pantai. Padahal ada Eyang bersamaku. Tapi tetap saja, aku tak berani menanyakan hal yang pernah aku ceritakan padamu kala itu. Kalau kata Tuhan, ini belum jodohku.
Buku baru, aku punya sedikit cerita tentang kepergianku ke pantai bersama Eyang beberapa waktu lalu. Akibat pertanyaan yang terus aku serangkan ke Eyang, Eyang tampak berang sekali. Aku terkejut, sangat terkejut. Tak pernah sebelumnya Eyang bermimik seperti itu. Lalu aku merejan kuat. Sementara Eyang seolah tergeragap melihatku memerah wajah.
Mataku yang masih ranum, mudah sekali berair. Tak tahan aku menahan lelehan kelenjar airmataku yang telah dulu menggenang di kedua sudut mataku. Terlalu vokal aku berairmata, tepatnya mandi airmata. Tapi aku berharap sekali bisa mandi airsusu Mama. Tapi itu dulu, kini aku tak bisa banyak berharap, dan tak ingin mandi apa pun!
“Cah ayu, kalau kamu nangis buku barunya cepat habis lho..”
“Emang kalau nangis buku Andin bisa cepat habis ya, Eyang?”
“Iya dong. Makanya, mending sekarang kamu ganti baju, terus ikut Eyang ke pantai yuk!”
Entahlah, buku baru, aku tak mengerti soal menangis dan habisnya kamu. Cara Eyang meredakan tangisku memang luarbiasa. Aku sayang Eyang.
“Ah, Eyang memang Nenekku yang paling baik! Tak pernah aku merasakan kasih sayang seperti ini sebelumnya, dari orang lain.”
Lalu, aku ikut dengan Eyangputri. Jujur, aku lebih suka bepergian naik kendaraan umum, daripada harus duduk diam di dalam mobil pribadi, yang berisikan hanya orangorang itu saja: Eyangputri dan Pak Madin – supir Eyang. Tapi kemarin Eyang merayuku dengan sangat lembut, agar aku mau sesekali ikut dalam mobil Eyang. Sebenarnya pantai tujuan kami tak jauh dari rumah Eyangputri, cukuplah limabelas menit berjalan kaki.
Di pinggiran pantai, kuhabiskan waktu senjaku bersama Eyangputri, sementara Pak Madin tidur dalam mobil dengan bertelanjang dada. Dada Pak Madin sangat lebat dengan bulubulu halus, sejak bayi aku sering digendong olehnya, dan aku tergelitik oleh bulubulu halus itu, kisah Eyangputri tempo lalu.
Eyang memulai percakapan. Tak seharusnya aku asik bermain pasir ketika Eyangputri berbicara. Akhirnya Eyangputri harus mengulang apa yang telah ia ceritakan. Tapi, tetap saja aku tak dapat mencerna katakatanya. Eyangputri yang berlatarbelakang guru pada sebuah sekolah rakyat, dengan kalem nan ayu berkisah tentang pantai dan perkebunan teh serta ladang pohon Jati di rumahnya dulu.
“Di pantai, kita melepas penat, setiap senja. Setelah seharian bekerja memutar otak di kantor, luangkan waktu sejenak ke pantai menikmati matahari tenggelam kala senja. Di sana kita akan menemukan ketenangan dan perenungan yang teramat dalam. Apabila kita dalam keadaan terpuruk dalam bosan akan kehidupan yang fana ini, pergilah ke pantai. Ombak beriak dan nyanyian burungburung akan menghanyutkan kita pada kedamaian. Dan jingganya yang menenangkan akan membuat kita sadar akan diri kita ini; bahwa kita hanya manusia, di atas ada Tuhan Yang Maha Mengetahui, berlindunglah pada Dia.” kuranglebih begitu Eyang menceritakan tentang pantai ini.
Sementara pohon Jati, yang konon sebagai pelindung ketika banjir menyerang, ditebanglah pohonpohon yang berlingkar padat pada batangnya untuk dijadikan uang. Dengan lahan berhektar luasnya, bukan tak mungkin hanya sepohon yang ditebang, tapi bukan juga semua ditebang. “Pohon Jati yang sudah berumur, mahal harganya,” kisah Eyang. “Dijual? Lalu untuk apa dijual, Yang?” tanyaku polos.
“Ya, untuk pernikahan Papa dan Mama kamu!”
“Mereka menikah bersamaan dengan penjualan kayukayu itu?”
“Sayang, maksud Eyang itu..bla..bla..bla..”
Tak begitu jelas kalimat Eyangputri berikutnya, tenggelam dalam riak ombak di pantai sore itu. Siluet senja menyilaukan mataku, seolah menimangku untuk luruh dalam masa. Dan aku pun lelap dalam pangkuan Eyang.

Mengumbara

Sekian lama kita tak bertegur sapa, Buku Baru, apakah sekarang aku harus memanggilmu Buku Lama? Ah, tidak, aku sangat merindumu. Bukankah kau juga? Mungkin kau menanyakan keberadaanku selama ini? Tidak? Tak masalah, aku tetap akan bercerita tentang kevakumanku selama ini. Tapi maaf, aku tak mungkin bisa lagi menghabiskan semua tintaku untukmu. Tintaku kini harus kubagi dengan segala macam kertas yang lain. Bukan berarti aku menghianatimu, Buku Lama, hanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskanku untuk membagi tintaku.
Kini aku telah tumbuh dewasa, tapi aku tetaplah Andin 20 tahun silam, yang gemar menimbun rindu kepada Mama dan Papa, yang sering menghabiskan waktu untuk bersamamu, dan bercengkrama dengan Eyangputri. Tak ada yang berubah bukan?
Hanya, kini aku lebih menarik untuk dilihat oleh mata para lelaki di luar sana. Kuakui badanku bagus, tinggi, agak kurus memang. Dan yang mungkin membuat mereka risih denganku adalah asap yang selalu identik denganku. Mereka tak suka itu. Eyangputri pasti akan sangat marah apabila ia tahu aku kini seorang perokok aktif. Tapi, tanpa asap kusam itu, aku tiada daya untuk bercinta dengan kalian, pena dan Buku Lama. Hormati privasiku, ya!
Baiklah, aku tak akan bercerita yang menurut kalian adalah basi. Memanglah, ceritaku ini tak jauh dari kecengengan seorang gadis. Tapi, itu dulu. Kini, aku mencoba meninggalkan segala kepahitan dalam kelamnya masa laluku. Sementara aku menyibukan diriku dengan semua yang bisa membuatku sibuk hingga aku melupakan bahwa aku sedang menanti akan kerinduan kepada Papa dan Mama yang kuingin segera luruh.
Sampai tahun keduapuluhku sekarang, aku pun belum berani menanyakan apakah semua suratku telah diterima Mama dan Papa atau bahkan Eyangputri belum mengirimkannya. Ingin sekali kutanyakan keberadaan suratsurat itu. Menanyakan keberadaan orangtuaku? Rasanya mustahil aku berani. Biarlah waktu alam dan tulisanku ini yang membawaku bersua dengan mereka, atau hanya tulisanku yang akan menemui mereka – tanpa penulisnya.

Lelap.



Jakarta, 20 Januari 2012
Andrall Intrakta DC

Komentar

  1. (((cah ayu)))
    (((lebih menarik untuk dilihat oleh mata para lelaki ...)))
    (((badanku bagus)))

    -____________________________-

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Perpisahan yang Menyisakan Ampas Rindu Tanpa Ada Temu

Untuk wanita yang sebenarnya kukagumi, tapi malu untuk kuakui: Shofi Awanis Musim hujan turun di Magelang. Begitu jelas kau mengawali kenangan. Ya, kenangan. Kerna di awal kau tulis sebuah prosa atas namaku di laman harian daringmu, aku tak pernah mengira itu akan menjadi sebaris kenangan. Ternyata, gesek dawai pada biolamu menyadarkanku; betapa perpisahan tinggal menghitung hari. Sebelumnya, biarkan aku menjelaskan. Aku tak sepuitis yang kau kira. Aku tak serapi tulisan kupunya. Aku tak selayak kau kagumi―meski kau malas untuk mengakui. Malam ini, aku terenyak begitu melihat posting dua buah rekam gambar yang akan membantu membuatmu ingat hari ini di musim dingin New York nanti. Alunan nada dan suara sembermu yang sebenarnya cukup baik itu mengatakan padaku arti sebuah perpisahan yang berulang. Ya, berulang. Tapi kurasa tak perlu kutulis kembali dua perpisahan yang kualami sebelumnya di surat ini. Sementara kau sudah tahu betul bagaimana kesepianku menghadapi dua ai...

Seorang Cowok yang Dicap Baperan Karena Tulisannya. Apa yang Kamu Tulis, Menentukan Karaktermu

S esuai kesepakatan sebelumnya, pada minggu ini giliran saya untuk menulis dalam #HipweeJurnal. Itu berarti, saya harus mengenalkan diri saya pada siapapun juga yang merelakan waktunya yang berharga untuk membaca pengakuan saya ini. Maka, akan saya kisahkan bagaimana seorang lelaki yang begitu menggilai Seno Gumira, mendapatkan predikat baperan di kehidupannya dan perihal beda antara baper dan sensitif. Karena memang karakter ini jugalah yang telah disepakati untuk saya. Kendati saya agak berontak ketika para penulis Hipwee—termasuk Soni, tentunya—serempak menyebut karakter saya adalah seorang pujangga bermuka preman hingga (bercita-cita menjadi) playboy tapi baperan. Hah! Memang agak aneh ketika saya dicap sebagai orang yang baperan. Padahal puisi yang saya tulis nggak melulu soal perasaan Untuk kamu ingat, barangkali suatu hari kita bisa bertemu, saya satu-satunya punggawa Hipwee yang berambut panjang gondrong dengan karakter wajah yang cukup sangar. Sekiranya sepert...

Hai! II

Alina tersayang, Berabad lamanya aku berlayar Mencari dermaga bahasa kalbu Di kandungan Ibunda menyisakan teka-teki yang konon menjadi rahasia langit dan bumi Sampai entah kapan Tak segera kutemuinya Purnama lebih banyak kutonton di atas kano Aku nahkoda bagai kuda, liar dan beringas Aku tahan lapar dan dahaga Nafsu dan cinta kubui berbulan-bulan Jangkarku yang kekar berkarat di sampingku Biar mudah kulempar ketika kutemukan kau Alina tersayang, Tanpa radar tanpa sonar Masih sabar masih nanar Terkembang layar Tergantung angin menawar Akhirnya tersasar Pulau-pulau tersambangi aku Tak sedikit dari mereka mengenal cinta Harta dan tahta diperebutkan di ranahnya Ada pula wanita jadi mainan anak-cucunya Sulit sekali aku berangkat ke barat Alina tersayang, Kapalku menua Sebagai kayu ia batang muda Angin menghunus layar Lalu laju kano entah Samudra kenangan menjadi rapuh Mengapung duka-suka waktu lalu Segera Aku in...