Ini adalah bulan keenam kita saling kenal. Bulan ketiga kita duduk tidak dalam satu meja. Bulan di mana terdapat tanggal kenangan sepanjang hidupmu. Dan entah sampai bulan keberapa aku akan mendapatkan pulau itu. Yang pasti sinar bulanku masih banyak untuk aku tetap bisa berlayar dan mendayung perahuku. Kecuali waktu akan terhenti. Karena aku, kamu, kita tak pernah tahu kapan waktu akan berhenti. Selama waktu berjalan, layarku pun akan terus berkembang, hingga perahu ini mampu mencapai pulau yang tak pernah kau janjikan.
Mengenai pulau itu, kau pernah memberikan sebuah peta. Lebih tepatnya petunjuk tentang pulau tak berpenghuni seperti yang kau bilang. Baiklah. Aku membacanya, tanpa sepengetahuanmu – meski sebenarnya kau tahu. Dan aku bisa membaca; untuk siapa peta itu. Aku yakin sekali, itu peta untukku! Benar. Tebakanku tak melesat. Lalu aku bertanya padamu, kau ingat, 'kan?! Tapi aku lupa. Baiklah, aku membuka catatan kecilku dulu.
“Hmm, itu puisi buat siapa?”
“Pada siapa saja yang menginginkan pulau itu ”
“Kayanya gue tau nih.. *gue Hehe”
“Kalo lo merasa, ya jawabannya lo ”
Sampai bagian ini aku lupa balasanku, mungkin sudah terhapus oleh kapasitas memori ponselku yang tak seberapa. Lalu kau menjawab:
“Kan gue bilang bagi siapa pun yang ingin memiliki pulau.
Kalau lo merasa berarti itu lo, berarti lo mau memiliki pulau, maka saat ini, itulah jawabannya.
Tapi kalau lo ga merasa, ga perlu digubris, ya toh?”
“Hehe Iya juga sih, tapi sebenernya aku berharap bisa mencapai pulau itu.”
“Itu hak lo, tapi pulau juga ga bisa menjanjikan apa-apa ”.
Entah di mana berakhirnya pesan singkat ini, mungkin waktu juga yang membawa sisa hari itu - malam. Malam mempercepat perjumpaan kita di dunia maya. Ternyata jam di ponselku membentuk sudut 60, pukul 22.45 (15/12). Hari ini cukup sampai di sini, karena hari tak berkehendak lagi. Tapi biar bagaimana pun, ini merupakan percakapan yang cukup menyenangkan. Kenapa? Karena, bisa berkontak denganmu adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Menjadi pemicu emosionalitasku, menjadi lebih baik.
*****
Bisa dibilang saat itu aku sedang menjadi sosok sensitif – anak-anak menyebutnya perasa. Tapi memang benar adanya. Setiap kali aku membaca tulisanmu, baik di blog, di notes, maupun di status FB-mu, aku merasa akulah karakter yang tergambar dalam setiap katamu. Mungkin aku salah memaknainya, tapi ketika aku meminta rekomendasi darimu, selalu kau bilang kalau kau merasa. Entahlah. Ingin rasanya aku membuang ‘kelebihan’ yang dari dulu melekat pada diriku ini. atau aku harus mengembangkannya? Tidak! Aku rasa tidak. Ini akan memperburuk catatan hatiku.
Masalah pulau telah aku simpan di kotak emas yang pernah kau sarankan untuk segera membuatnya. Sekarang aku ingin flashback sedikit, awal perjumpaan kita. Biasanya semua yang aku alami kurekam dalam kata-kata, tapi ketika pertemuan kita, aku tak melihat selembar kertas dan tinta sedikit pun.
Aku menyesal. Tapi sama sekali tak menyurutkan rasa cintaku untuk tetap merekam pertemuan kita pertama kali. Aku masih ingat, kala grimis di bawah atap gedung BAAK kampus kita. Tepatnya saat senja – nyaris petang. Saat itu kita menyimak adzan, kita asik ngobrol, masih hangat-hangatnya dapat kenalan baru, hingga…
Sebenarnya kita telah lama kenal. Namun itu di dunia maya. Berawal dari jejaring sosial yang padat akan users-nya, facebook. Aku menambahkan akunmu dalam friendslist-ku, tak lama kau menerima permintaan pertemananku. Aku senang. Karena bertambah satu teman di jurusan. Memang kau anak jurusan pertama yang menjadi teman di facebook-ku. Maka dari itu aku selalu ingat, kapan kita kenal.
Kembali aku ingin mengingat saat kali pertama kita bertemu. Ya, di depan BAAK kampus. Saat hujan membasahi bumi kita, kamu ulurkan tangan tanda perkenalan.
“Oh, lu Andrall?!”
“Ya, lu Dinda Hn itu, kan, yang di facebook?!”
“Iya. Hehe.. Salam kenal ya!”
“Yoyoi..”
Akhirnya kita bisa bertatap muka. Aku telah menjamah seluruh isi notes di FB-mu, dan sebagian banyak aku suka. Aku langsung jatuh hati pada tulisanmu. Kau seorang cerdas, kreatif, dan imajinatif. Tapi itu hanya perkiraanku saja saat kita belum bertemu langsung. Dan kini semua terjawab sudah!
Perbincangan kita tak mengambang, tanpa canggung kita ngobrol panjang lebar. Kau begitu ekspresif dalam berbicara. Suaramu lembut, selembut matamu – bening. Tatapanmu kepadaku bersahaja, penuh kedamaian. Aku menatapmu begitu detail. Dari ujung kaki hingga ujung rambut, tak ada aura hitam yang terbesit. Rambutmu lurus alami, pipimu chubby seperti kue bakpau. Kenyal. Dengan sedikit poni yang sama sekali tak rata, tampak keningmu berkerut-kerut, kau seorang kritis!. Gadis seumuranmu, aku yakin dia tak percaya diri tanpa pewarna di bibirnya, sedang kau tak masalah. Kau tampil apa adanya. Kulitmu putih bersih, sesuci pikiranmu terhadap orang asing yang sedang bersosialisasi denganmu. Mimikmu dapat kubaca. Kau seorang kreatif, pemikir kritis, berimajinasi tinggi, sedikit humoris tapi tetap imajinatif, dan yang pasti kau seorang cerdas!
Jikalau Mamaku tahu bagaimana rupa dan sikap seorang Dinda, beliau pasti akan bahagia mengenalmu. Terlebih Papaku yang kini sedang di Taman Keindahan, beliau akan tetap tersenyum melihat sosokmu. Betapa indahnya mereka bila mengenalmu. Asal kau tahu, dari dulu aku suka gadis yang berkriteria sepertimu. Telah susah payah aku mencari tipikal yang kau punya. Bahkan tak ada. Jika ada, tak seutuhnya sama. Dan orang tuaku semua adalah anak sastra yang mendalami bidang teater dan penulisan. Aku suka sekali.
*****
Hujan kini tergantikan gerimis. Tapi gerimis muncul malu-malu, dengan sesekali menggoda meneteskan percik air langit. Ketika senja kian senyap, lazuardi menyemu biru kehitaman, gerimis kian nakal. Kita masih berteduh di bawahnya, menanti sebuah tronton yang akan membawa kita ke puncak Cilember(3/10).
Kau tahu? Ketika namamu tertera di oprec di mading jurusan, lantas aku menulis namaku lengkap di bawah namamu. Dan akhirnya aku ikut kegiatan yang awalnya ku kira akan membosankan ini. Itulah alasan kenapa aku ikut kegiatan ini. Mungkin dengan ini oleh Tuhan aku akan dipertemukan denganmu. Tuhan mendengarku! Kita bertemu di sana. Aku telah cukup sabar menanti pertemuan ini. Dan kini aku menuainya.
Lama kita menunggu kumpulan besi berjalan – tronton – itu. Hingga aku tak tahu percakapan kita sampai mana. Terlalu asyik aku menyimak kau berbicara dan begitu sebaliknya. Lalu kau mengenalkan seorang kawanmu dari jurusan lain, Riefka namanya. Tapi aku tak peduli. Kau bilang, “Ndrall, dapet salam tuh dari Riefka anak Ekonomi!”. “Hehe”, aku hanya tertawa. Seandainya kau tahu.. -_-
Kira-kira pukul 19.00 tronton kita datang. Kebetulan kita berada berdekatan. Aku menjaga pintu belakang, sedangkan kau duduk di kursi paling dekat denganku. Mereka - peserta lain - merapatkan posisi duduk agak ke dalam, akhirnya kita satu bangku.
Percakapan lanjut di dalam tronton tengah malam. Air langit menjadi saksi awal kedekatan kita. Perjalanan masih cukup jauh untuk mata tetap terjaga. Tanpa kau meminta, aku segera menawarkan bahuku untukmu - melihat kau memejamkan mata. Bukan untuk berlinang, namun untuk sekedar lelap menembus malam.
Tiga hari berselang. Kegiatan akhir pekan itu aku rekam dalam kata-kata yang agak bersyairi. Kemudian aku mengirim kepadamu via pesan singkat elektronik. Lantas kau membalas cukup cepat. Sadari kau tlah berdua. Sepenggal sajak yang menjadi sorotan, seakan inilah pesan utama yang ingin kusampaikan padamu. Ternyata kau belum menyadarinya! "Sebelum janur kuning melengkung, masbro. Hehe". Lagi lagi, seandainya kau tahu.. :D
*****
Setelah tragedi Cilember itu, hari hariku kosong tanpa menatap mimikmu. Seakan wajahmu selalu mengiang di mataku. Suaramu yang tak terlalu cantik - lebih cantik tulisamu - terus mengelantung di telingaku. Puisi yang kau nyanyikan di Vila itu masih melekat dalam di buku diary all about you. Buku diary yang juga alat komunikasiku - ponsel - penuh dengan tulisan yang berbau kehidupanmu. Maka, aku selalu merasa kau ada di dekatku, meski hanya dalam hayalku. Namun aku yakin suatu saat hayalku ini tidak akan berstagnasi seperti sekarang ini. Aku yakin. Sangat yakin. Entahlah denganmu?
Sore itu masih indah. Sangat indah. Aku duduk di Tercil mengamati anak anak latihan - olah tubuh - untuk pentas minggu depan. Hanya mataku yang bergerak dengan sesekali senyum kecil. Namun dalam otakku seseorang sedang berlari-lari genit dengan rambutnya tergerai berhamburan ke udara. Matanya berbintang. Aku mengejarnya. Di taman bunga. Ya, itu kau! Kau yang saat itu masuk dalam lamunanku. Memang seutuhnya kau bermain dalam hayalku.
"Sana beli minum gih!"
Lamunanku pecah oleh suara petir yang mengagetkanku. Akhirnya aku berjalan ke kantin untuk beli minum. Melewati Masjid Alumni. Ini proyeksi dari lamunanku tadi, atau.. Aku melihatmu, nyata! Kau melambaikan tangan melihatku.
"Hai, Andrall!", kau cerah, seperti senja sore ini. Ramah sekali kau ternyata.
"Hai. Ngapain lu di sini? Mau shalat?" Ada Tyas juga di sampingmu. Tapi dia tak bersahabat dengan kehadiranku untuk melawat ke kehidupanmu. Entah kenapa.
"Engga, nunggu temen kok"
"Oh, hehe. Ya udah, gue kantin dulu ya bentaran", lantas aku meninggalkanmu dan Tyas di pelataran Masjid. Tak lebih 10 menit.
"..."
Mulutku menganga seketika. Aku urungkan niat untuk menyapamu lagi. Mungkin tak tepat. Rasanya ingin sekali menyapamu, namun aku tahu diri. Biarkanlah. Kau telah berdua! Bertiga dengan Tyas. Kau berboncengan dengannya. Lalu petir menyambar-nyambar hingga ke pelataran hatiku. Gemuruh badai terdengar tak nyaring, tapi pekik. Sakit yang kurasa terjabarkan sudah oleh hujan dan rintik air mata. Tapi cepat cepat kuseka sebelum aku memberikan minuman ini ke anak anak Bengkel Sastra. (17/11)
Begitu besar peran eksplisitmu dalam hidupku. Mungkin judul cerpen "Senja dan Surat Cinta" (Seno Gumira Adjidarma) pantas kulayangkan untukmu. Tak jauh dari isi, cerita cintaku sedikit tertuang dalam cerpen itu. Walau pada kenyataannya cerita cintaku lebih complicated, meski dibandingkan dengan dongeng 1001 malam atau pemerintahan zaman sekarang yang amburadul.
Aku menamaimu Senja, seperti yang terlukis dalam cerpen Senja dan Surat Cinta. Aku memang suka senja. Berawal dari pantai. Aku juga suka pantai. Dengan irama musik reggae yang menawarkan kedamaian, hati menjadi tenang dan hanyut di dalamnya, begitu pula dengan pantai di kala senja.
Entah suatu kebetulan atau apa, semua kejadian itu berlangsung manakala senja sedang laju. Tapi tragedi ini tak berlalu begitu saja. Pasti ada kata di setiap kejadiannya. Dari sinilah aku menyematkan nama Senja untukmu. Dan Sunset untuk sahabatmu, Tyas.
Sungguh aku ingin duduk bersimpuh di tepi pantai bersamamu, berdua saja. Bercerita tentang diri ini. Saling berbagi kisah dan rasa. Menyatukan dua pikiran yang berbeda. Layaknya menyatukan ska dan R&B. Tak susah memang, hanya perlu waktu. Dengan demikian terciptalah keindahan, dua rasa, satu raga, kau dan aku. Tapi mustahil! Pantai hanya untukku seorang. Sepertinya kau tak sudi merapat ke pasirku. Padahal pasirku cinta damai. Lantas seseorang berkata, "Tak ada yang mustahil. Suatu kebersamaan perlu komunikasi saja!"
Itu salah satu kendalaku. Aku kini menjadi lemah dalam bidang ini, komunikasi. Terlebih denganmu. Sementara dengan yang lain aku selalu open mind. Atau karena sebuah percakapan singkat yang membuat kita menjadi canggung?
Dinda Hn AKU MAU PANTAI DAN MAWAR PUTIH !!! :(
Rasta Andrall:
aku hanya ingin pantai di senja indah yang damai tanpa badainya. namun badai datang menyerang pesisir pantai dan senja menjadi kelam olehnya.. :(
Dinda Hn:
senjamu tidak akan pernah tersapu, namun badai pasti akan berlalu. senjamu akan kembali pada waktu kau menunggu :)
Rasta Andrall:
namun aku terpuruk akan keyakinan itu sebab badai tiada niat untuk enyah melangkah sedang senja tetap berharap akan badai semilir kepadanya bencana melirikku, dan aku fajar
Dinda Hn:
haduuuuuhh, ga kelar2 dong masalahnya.. hahah
lebih baik senja tetap sebagai senja, sebagai kesendirian, tanpa badai, fajar, atau yang lainnya. nice ending kan. Heheh
Rasta Andrall:
yahh.. ni mah skenario lo, tp fakta ga sjalan ma skenario lo dan angan gw..
biarkan waktu bicara bawa takdirnya.. ;)
tp gw yakin takdir senja berujung dengan badai bagi gw :(
Dinda Hn:
hahaha gimana sih, di satu sisi lo menyerahkan kepercayaan sama waktu, di sisi lain lo terhipnotis sama kepercayaan lo sendiri, dan jadi terkesan pesimis.
sudahlaaaah, kalo udah di titik batas kemampuan kita, tinggal tawakal aja (kata guru ngaji gue. hehe)
Rasta Andrall:
masalahnya 'senja' itu multytafsir, susah ditebak..
gw pengin bgt ke pantai saat senja dan berteriak bersama senja "aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"
semua akan lega pada akhirnya.. :)
tp ga mungkin juga :/
Dinda Hn:
hahaha keren yaa ada multytafsir kayak senja, andai saja aku seperti senja yang multytafsir, asik tuh
enak kan ke pantai. malem2 juga enak, tapi kadang agak serem juga kalo ngeliatin pantai malem2. heehe
Rasta Andrall:
andai kau tahu, siapa analogi senja dalam duniaku..
hmm.. sayang, kau tak butuh tahu..
ya jangan malem lah, enakan sore, angin laut semilir meniup. Dihiasi kicau burung dan gadis pantai. dan kita mendekat, dengan lantang penuh energi kita berte...riak bersama, "aaaaa..."
Dinda Hn: lah kenapa gue ga butuh tauu.. peliit hiks :( heheh
asik asik, kapan2 jalan2 yok rame2 ke pantai. Heheh
Rasta Andrall:
karna kaulah senja itu..
*serius
atur aja dehh
Dinda Hn: ngibuuul wooo.. gue mana ada multytapsirnya. hahahah
pelit ah..
yaaah, gue yang ngatur masa. tar gue bikin oprec deh buat jalan2 ke pantai. Hehe
Rasta Andrall:
jahh.. ngapain ngibul.. Ntar cerpen gw baca deh kalo ga percaya.
Tapi badai masih menghadangku untuk berkreasi dan berkarya
Aku akan menunggu badai sirna
Betapa lama itu
Aku tetap tegar
Karna aku adalah fajar
Di bawah naungan bulan
Dinda Hn:
hah cerpen? wew... mau dong bacaaaa, ga di publish di fb yaa? hoho Lah terus badainya?
Rasta Andrall:
di blog gw ntar.. baru smpe opening doang, msh lama kali.. ;p
Dinda Hn:
yaaahh hahah, ga bilang punya blog, kan gue juga punya. hkekek
follow atuh kang :p
daduimaji.blogspot.com
*****
Masih ada beberapa kisah tentang senja yang lain yang belum rampung kuukir di kesempatan kali ini. Kisah tentang Si Tyas yang tidak suka denganku, sosok Regi yang menyudutkanku, hingga Mas Tampan. Namun tak selayaknya aku menyepuhnya dalam prosa. Mungkin hanya ini yang sang waktu berikan untuk aku meneteskan semua kisah tentangmu menjelang hari jadimu.
Dari semua waktu yang sudah sudah yang telah menjadi sejarah, satu lirik aku dedikasikan untukmu. Bacalah! Kau akan tahu betapa kuingin bergoyang kaki di pantai berdua denganmu, mengutarakan maksud hati. Aku ingin menikmati senjamu selamanya, menanti waktu tiba, bahkan hingga kujenuh!
Bacalah lirik ini bersama alunan musiknya. :)
:: Steven and Coconuttrezz ::
{Mungkin terlalu tabu aku untuk berkata 'Aku jatuh hati padamu' - terlalu munafik atas diri ini (baca: aku seorang pengecut)}
Selamat reborn, Dinda Hayati Nufus, May ALLAH bless you! ;)
Teruslah berkarya, berapresiasi, sayangi Mamamu, dan carilah sosok baru sesosok SHG seperti yang kau inginkan! :)
Jakarta, 18 April 2011
11 November 2010 - 19 April 2011
Andrall Intrakta DC
Mengenai pulau itu, kau pernah memberikan sebuah peta. Lebih tepatnya petunjuk tentang pulau tak berpenghuni seperti yang kau bilang. Baiklah. Aku membacanya, tanpa sepengetahuanmu – meski sebenarnya kau tahu. Dan aku bisa membaca; untuk siapa peta itu. Aku yakin sekali, itu peta untukku! Benar. Tebakanku tak melesat. Lalu aku bertanya padamu, kau ingat, 'kan?! Tapi aku lupa. Baiklah, aku membuka catatan kecilku dulu.
“Hmm, itu puisi buat siapa?”
“Pada siapa saja yang menginginkan pulau itu ”
“Kayanya gue tau nih.. *gue Hehe”
“Kalo lo merasa, ya jawabannya lo ”
Sampai bagian ini aku lupa balasanku, mungkin sudah terhapus oleh kapasitas memori ponselku yang tak seberapa. Lalu kau menjawab:
“Kan gue bilang bagi siapa pun yang ingin memiliki pulau.
Kalau lo merasa berarti itu lo, berarti lo mau memiliki pulau, maka saat ini, itulah jawabannya.
Tapi kalau lo ga merasa, ga perlu digubris, ya toh?”
“Hehe Iya juga sih, tapi sebenernya aku berharap bisa mencapai pulau itu.”
“Itu hak lo, tapi pulau juga ga bisa menjanjikan apa-apa ”.
Entah di mana berakhirnya pesan singkat ini, mungkin waktu juga yang membawa sisa hari itu - malam. Malam mempercepat perjumpaan kita di dunia maya. Ternyata jam di ponselku membentuk sudut 60, pukul 22.45 (15/12). Hari ini cukup sampai di sini, karena hari tak berkehendak lagi. Tapi biar bagaimana pun, ini merupakan percakapan yang cukup menyenangkan. Kenapa? Karena, bisa berkontak denganmu adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Menjadi pemicu emosionalitasku, menjadi lebih baik.
*****
Bisa dibilang saat itu aku sedang menjadi sosok sensitif – anak-anak menyebutnya perasa. Tapi memang benar adanya. Setiap kali aku membaca tulisanmu, baik di blog, di notes, maupun di status FB-mu, aku merasa akulah karakter yang tergambar dalam setiap katamu. Mungkin aku salah memaknainya, tapi ketika aku meminta rekomendasi darimu, selalu kau bilang kalau kau merasa. Entahlah. Ingin rasanya aku membuang ‘kelebihan’ yang dari dulu melekat pada diriku ini. atau aku harus mengembangkannya? Tidak! Aku rasa tidak. Ini akan memperburuk catatan hatiku.
Masalah pulau telah aku simpan di kotak emas yang pernah kau sarankan untuk segera membuatnya. Sekarang aku ingin flashback sedikit, awal perjumpaan kita. Biasanya semua yang aku alami kurekam dalam kata-kata, tapi ketika pertemuan kita, aku tak melihat selembar kertas dan tinta sedikit pun.
Aku menyesal. Tapi sama sekali tak menyurutkan rasa cintaku untuk tetap merekam pertemuan kita pertama kali. Aku masih ingat, kala grimis di bawah atap gedung BAAK kampus kita. Tepatnya saat senja – nyaris petang. Saat itu kita menyimak adzan, kita asik ngobrol, masih hangat-hangatnya dapat kenalan baru, hingga…
Sebenarnya kita telah lama kenal. Namun itu di dunia maya. Berawal dari jejaring sosial yang padat akan users-nya, facebook. Aku menambahkan akunmu dalam friendslist-ku, tak lama kau menerima permintaan pertemananku. Aku senang. Karena bertambah satu teman di jurusan. Memang kau anak jurusan pertama yang menjadi teman di facebook-ku. Maka dari itu aku selalu ingat, kapan kita kenal.
Kembali aku ingin mengingat saat kali pertama kita bertemu. Ya, di depan BAAK kampus. Saat hujan membasahi bumi kita, kamu ulurkan tangan tanda perkenalan.
“Oh, lu Andrall?!”
“Ya, lu Dinda Hn itu, kan, yang di facebook?!”
“Iya. Hehe.. Salam kenal ya!”
“Yoyoi..”
Akhirnya kita bisa bertatap muka. Aku telah menjamah seluruh isi notes di FB-mu, dan sebagian banyak aku suka. Aku langsung jatuh hati pada tulisanmu. Kau seorang cerdas, kreatif, dan imajinatif. Tapi itu hanya perkiraanku saja saat kita belum bertemu langsung. Dan kini semua terjawab sudah!
Perbincangan kita tak mengambang, tanpa canggung kita ngobrol panjang lebar. Kau begitu ekspresif dalam berbicara. Suaramu lembut, selembut matamu – bening. Tatapanmu kepadaku bersahaja, penuh kedamaian. Aku menatapmu begitu detail. Dari ujung kaki hingga ujung rambut, tak ada aura hitam yang terbesit. Rambutmu lurus alami, pipimu chubby seperti kue bakpau. Kenyal. Dengan sedikit poni yang sama sekali tak rata, tampak keningmu berkerut-kerut, kau seorang kritis!. Gadis seumuranmu, aku yakin dia tak percaya diri tanpa pewarna di bibirnya, sedang kau tak masalah. Kau tampil apa adanya. Kulitmu putih bersih, sesuci pikiranmu terhadap orang asing yang sedang bersosialisasi denganmu. Mimikmu dapat kubaca. Kau seorang kreatif, pemikir kritis, berimajinasi tinggi, sedikit humoris tapi tetap imajinatif, dan yang pasti kau seorang cerdas!
Jikalau Mamaku tahu bagaimana rupa dan sikap seorang Dinda, beliau pasti akan bahagia mengenalmu. Terlebih Papaku yang kini sedang di Taman Keindahan, beliau akan tetap tersenyum melihat sosokmu. Betapa indahnya mereka bila mengenalmu. Asal kau tahu, dari dulu aku suka gadis yang berkriteria sepertimu. Telah susah payah aku mencari tipikal yang kau punya. Bahkan tak ada. Jika ada, tak seutuhnya sama. Dan orang tuaku semua adalah anak sastra yang mendalami bidang teater dan penulisan. Aku suka sekali.
*****
Hujan kini tergantikan gerimis. Tapi gerimis muncul malu-malu, dengan sesekali menggoda meneteskan percik air langit. Ketika senja kian senyap, lazuardi menyemu biru kehitaman, gerimis kian nakal. Kita masih berteduh di bawahnya, menanti sebuah tronton yang akan membawa kita ke puncak Cilember(3/10).
Kau tahu? Ketika namamu tertera di oprec di mading jurusan, lantas aku menulis namaku lengkap di bawah namamu. Dan akhirnya aku ikut kegiatan yang awalnya ku kira akan membosankan ini. Itulah alasan kenapa aku ikut kegiatan ini. Mungkin dengan ini oleh Tuhan aku akan dipertemukan denganmu. Tuhan mendengarku! Kita bertemu di sana. Aku telah cukup sabar menanti pertemuan ini. Dan kini aku menuainya.
Lama kita menunggu kumpulan besi berjalan – tronton – itu. Hingga aku tak tahu percakapan kita sampai mana. Terlalu asyik aku menyimak kau berbicara dan begitu sebaliknya. Lalu kau mengenalkan seorang kawanmu dari jurusan lain, Riefka namanya. Tapi aku tak peduli. Kau bilang, “Ndrall, dapet salam tuh dari Riefka anak Ekonomi!”. “Hehe”, aku hanya tertawa. Seandainya kau tahu.. -_-
Kira-kira pukul 19.00 tronton kita datang. Kebetulan kita berada berdekatan. Aku menjaga pintu belakang, sedangkan kau duduk di kursi paling dekat denganku. Mereka - peserta lain - merapatkan posisi duduk agak ke dalam, akhirnya kita satu bangku.
Percakapan lanjut di dalam tronton tengah malam. Air langit menjadi saksi awal kedekatan kita. Perjalanan masih cukup jauh untuk mata tetap terjaga. Tanpa kau meminta, aku segera menawarkan bahuku untukmu - melihat kau memejamkan mata. Bukan untuk berlinang, namun untuk sekedar lelap menembus malam.
Tiga hari berselang. Kegiatan akhir pekan itu aku rekam dalam kata-kata yang agak bersyairi. Kemudian aku mengirim kepadamu via pesan singkat elektronik. Lantas kau membalas cukup cepat. Sadari kau tlah berdua. Sepenggal sajak yang menjadi sorotan, seakan inilah pesan utama yang ingin kusampaikan padamu. Ternyata kau belum menyadarinya! "Sebelum janur kuning melengkung, masbro. Hehe". Lagi lagi, seandainya kau tahu.. :D
*****
Setelah tragedi Cilember itu, hari hariku kosong tanpa menatap mimikmu. Seakan wajahmu selalu mengiang di mataku. Suaramu yang tak terlalu cantik - lebih cantik tulisamu - terus mengelantung di telingaku. Puisi yang kau nyanyikan di Vila itu masih melekat dalam di buku diary all about you. Buku diary yang juga alat komunikasiku - ponsel - penuh dengan tulisan yang berbau kehidupanmu. Maka, aku selalu merasa kau ada di dekatku, meski hanya dalam hayalku. Namun aku yakin suatu saat hayalku ini tidak akan berstagnasi seperti sekarang ini. Aku yakin. Sangat yakin. Entahlah denganmu?
Sore itu masih indah. Sangat indah. Aku duduk di Tercil mengamati anak anak latihan - olah tubuh - untuk pentas minggu depan. Hanya mataku yang bergerak dengan sesekali senyum kecil. Namun dalam otakku seseorang sedang berlari-lari genit dengan rambutnya tergerai berhamburan ke udara. Matanya berbintang. Aku mengejarnya. Di taman bunga. Ya, itu kau! Kau yang saat itu masuk dalam lamunanku. Memang seutuhnya kau bermain dalam hayalku.
"Sana beli minum gih!"
Lamunanku pecah oleh suara petir yang mengagetkanku. Akhirnya aku berjalan ke kantin untuk beli minum. Melewati Masjid Alumni. Ini proyeksi dari lamunanku tadi, atau.. Aku melihatmu, nyata! Kau melambaikan tangan melihatku.
"Hai, Andrall!", kau cerah, seperti senja sore ini. Ramah sekali kau ternyata.
"Hai. Ngapain lu di sini? Mau shalat?" Ada Tyas juga di sampingmu. Tapi dia tak bersahabat dengan kehadiranku untuk melawat ke kehidupanmu. Entah kenapa.
"Engga, nunggu temen kok"
"Oh, hehe. Ya udah, gue kantin dulu ya bentaran", lantas aku meninggalkanmu dan Tyas di pelataran Masjid. Tak lebih 10 menit.
"..."
Mulutku menganga seketika. Aku urungkan niat untuk menyapamu lagi. Mungkin tak tepat. Rasanya ingin sekali menyapamu, namun aku tahu diri. Biarkanlah. Kau telah berdua! Bertiga dengan Tyas. Kau berboncengan dengannya. Lalu petir menyambar-nyambar hingga ke pelataran hatiku. Gemuruh badai terdengar tak nyaring, tapi pekik. Sakit yang kurasa terjabarkan sudah oleh hujan dan rintik air mata. Tapi cepat cepat kuseka sebelum aku memberikan minuman ini ke anak anak Bengkel Sastra. (17/11)
Begitu besar peran eksplisitmu dalam hidupku. Mungkin judul cerpen "Senja dan Surat Cinta" (Seno Gumira Adjidarma) pantas kulayangkan untukmu. Tak jauh dari isi, cerita cintaku sedikit tertuang dalam cerpen itu. Walau pada kenyataannya cerita cintaku lebih complicated, meski dibandingkan dengan dongeng 1001 malam atau pemerintahan zaman sekarang yang amburadul.
Aku menamaimu Senja, seperti yang terlukis dalam cerpen Senja dan Surat Cinta. Aku memang suka senja. Berawal dari pantai. Aku juga suka pantai. Dengan irama musik reggae yang menawarkan kedamaian, hati menjadi tenang dan hanyut di dalamnya, begitu pula dengan pantai di kala senja.
Entah suatu kebetulan atau apa, semua kejadian itu berlangsung manakala senja sedang laju. Tapi tragedi ini tak berlalu begitu saja. Pasti ada kata di setiap kejadiannya. Dari sinilah aku menyematkan nama Senja untukmu. Dan Sunset untuk sahabatmu, Tyas.
Sungguh aku ingin duduk bersimpuh di tepi pantai bersamamu, berdua saja. Bercerita tentang diri ini. Saling berbagi kisah dan rasa. Menyatukan dua pikiran yang berbeda. Layaknya menyatukan ska dan R&B. Tak susah memang, hanya perlu waktu. Dengan demikian terciptalah keindahan, dua rasa, satu raga, kau dan aku. Tapi mustahil! Pantai hanya untukku seorang. Sepertinya kau tak sudi merapat ke pasirku. Padahal pasirku cinta damai. Lantas seseorang berkata, "Tak ada yang mustahil. Suatu kebersamaan perlu komunikasi saja!"
Itu salah satu kendalaku. Aku kini menjadi lemah dalam bidang ini, komunikasi. Terlebih denganmu. Sementara dengan yang lain aku selalu open mind. Atau karena sebuah percakapan singkat yang membuat kita menjadi canggung?
Dinda Hn AKU MAU PANTAI DAN MAWAR PUTIH !!! :(
Rasta Andrall:
aku hanya ingin pantai di senja indah yang damai tanpa badainya. namun badai datang menyerang pesisir pantai dan senja menjadi kelam olehnya.. :(
Dinda Hn:
senjamu tidak akan pernah tersapu, namun badai pasti akan berlalu. senjamu akan kembali pada waktu kau menunggu :)
Rasta Andrall:
namun aku terpuruk akan keyakinan itu sebab badai tiada niat untuk enyah melangkah sedang senja tetap berharap akan badai semilir kepadanya bencana melirikku, dan aku fajar
Dinda Hn:
haduuuuuhh, ga kelar2 dong masalahnya.. hahah
lebih baik senja tetap sebagai senja, sebagai kesendirian, tanpa badai, fajar, atau yang lainnya. nice ending kan. Heheh
Rasta Andrall:
yahh.. ni mah skenario lo, tp fakta ga sjalan ma skenario lo dan angan gw..
biarkan waktu bicara bawa takdirnya.. ;)
tp gw yakin takdir senja berujung dengan badai bagi gw :(
Dinda Hn:
hahaha gimana sih, di satu sisi lo menyerahkan kepercayaan sama waktu, di sisi lain lo terhipnotis sama kepercayaan lo sendiri, dan jadi terkesan pesimis.
sudahlaaaah, kalo udah di titik batas kemampuan kita, tinggal tawakal aja (kata guru ngaji gue. hehe)
Rasta Andrall:
masalahnya 'senja' itu multytafsir, susah ditebak..
gw pengin bgt ke pantai saat senja dan berteriak bersama senja "aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"
semua akan lega pada akhirnya.. :)
tp ga mungkin juga :/
Dinda Hn:
hahaha keren yaa ada multytafsir kayak senja, andai saja aku seperti senja yang multytafsir, asik tuh
enak kan ke pantai. malem2 juga enak, tapi kadang agak serem juga kalo ngeliatin pantai malem2. heehe
Rasta Andrall:
andai kau tahu, siapa analogi senja dalam duniaku..
hmm.. sayang, kau tak butuh tahu..
ya jangan malem lah, enakan sore, angin laut semilir meniup. Dihiasi kicau burung dan gadis pantai. dan kita mendekat, dengan lantang penuh energi kita berte...riak bersama, "aaaaa..."
Dinda Hn: lah kenapa gue ga butuh tauu.. peliit hiks :( heheh
asik asik, kapan2 jalan2 yok rame2 ke pantai. Heheh
Rasta Andrall:
karna kaulah senja itu..
*serius
atur aja dehh
Dinda Hn: ngibuuul wooo.. gue mana ada multytapsirnya. hahahah
pelit ah..
yaaah, gue yang ngatur masa. tar gue bikin oprec deh buat jalan2 ke pantai. Hehe
Rasta Andrall:
jahh.. ngapain ngibul.. Ntar cerpen gw baca deh kalo ga percaya.
Tapi badai masih menghadangku untuk berkreasi dan berkarya
Aku akan menunggu badai sirna
Betapa lama itu
Aku tetap tegar
Karna aku adalah fajar
Di bawah naungan bulan
Dinda Hn:
hah cerpen? wew... mau dong bacaaaa, ga di publish di fb yaa? hoho Lah terus badainya?
Rasta Andrall:
di blog gw ntar.. baru smpe opening doang, msh lama kali.. ;p
Dinda Hn:
yaaahh hahah, ga bilang punya blog, kan gue juga punya. hkekek
follow atuh kang :p
daduimaji.blogspot.com
*****
Masih ada beberapa kisah tentang senja yang lain yang belum rampung kuukir di kesempatan kali ini. Kisah tentang Si Tyas yang tidak suka denganku, sosok Regi yang menyudutkanku, hingga Mas Tampan. Namun tak selayaknya aku menyepuhnya dalam prosa. Mungkin hanya ini yang sang waktu berikan untuk aku meneteskan semua kisah tentangmu menjelang hari jadimu.
Dari semua waktu yang sudah sudah yang telah menjadi sejarah, satu lirik aku dedikasikan untukmu. Bacalah! Kau akan tahu betapa kuingin bergoyang kaki di pantai berdua denganmu, mengutarakan maksud hati. Aku ingin menikmati senjamu selamanya, menanti waktu tiba, bahkan hingga kujenuh!
Hingga Kujenuh
Saat senja ku nikmati damaimu
Ku terlena terbuai angan
Terbang tinggi melayang dan perlahan
Mentaripun menghilang
Hingga dustamu terungkap
Kau membuatku tetap terang
Tapi terasa mnyakitkan sadari kau t'lah berdua
Entah kenapa ku tak bisa melepasmu
Kau hanya untukku hingga satu waktu tak ingin lagi dirimu dan kubiarkan berlalu
Kau hanya milikku
Nikmati dustamu hingga kujenuh akanmu dan kubiarkan berlalu
Biarku berlabuh hingga satu waktu, biar
kupuasi hingga ku jenuh akanmu
Bacalah lirik ini bersama alunan musiknya. :)
:: Steven and Coconuttrezz ::
{Mungkin terlalu tabu aku untuk berkata 'Aku jatuh hati padamu' - terlalu munafik atas diri ini (baca: aku seorang pengecut)}
Selamat reborn, Dinda Hayati Nufus, May ALLAH bless you! ;)
Teruslah berkarya, berapresiasi, sayangi Mamamu, dan carilah sosok baru sesosok SHG seperti yang kau inginkan! :)
Jakarta, 18 April 2011
Perahu Kayu Muda Mengaku
Melantunkan ia perahu kayu muda
Di jantungnya tereka namaku: Si Pengecut!
Disapukannya ombak beriak
Dikenalkan itu pula pulau idaman
Pulau tak berpenghuni
Pohon pohon dan hewan hewan tumbuh subur
Asaku belum matang benar
Melantunkan ia perahu kayu muda
Itu pulau pelipur duka
Lagi terkenal biru oleh rasa
Perahu kayu muda bergelut dengan waktu
Hingga berlumut semua semu
Itu pulau jika didamba
Hanya hampa menjadi tahta atas tempatnya
Melantunkan ia perahu kayu muda
Tentang pulau yang terlihat mata
Tentang angan yang terseka
Tentang hasrat yang tersurai
Tentang ketakutan atas kesangsian
Tentang perahu kayu muda yang berbagi
rasa dan cinta
Melantunkan ia perahu kayu muda
Tak pasti padanya berbagi
Angkuh legam terpatri
Tiada menerima penghuni
Mati jadi bisa kurasa, kau tak tega
Melantunkan ia perahu kayu muda
Kepada perahu kayu muda
Yang hendak menyelam
Kau layangkan lima bulan silam!
11 November 2010 - 19 April 2011
Andrall Intrakta DC
Kamu 'unyu' banget, ya. :D Ingat sampai detil terkecil. Saluuut. :))
BalasHapus