Malam ini tidak terlalu pekat tak seperti malam-malam biasa. Awan kelabu namun tak mendung, masih ada beberapa bintang yang berkedip, tak terkecuali bintang ufuk timur yang tak pernah absen pada orbitnya meski mendung sekalipun. Malam berlarut hingga tua, pukul 00.00 tengah malam, aku terbangun oleh bel rumah yang sangat nyaring, dan bisa menembus selaput gendang telinga hingga pecah.
"Jam segini masih saja ada tamu, siapakah gerangan?" pikirku dalam keadaan setengah sadar.
Dan bayangan melambung tinggi, "Stolen in 60second". Kira-kira game itulah yang ada di otakku ketika mengira-ngira siapa tamu yang menunda mimpiku. Sial! Ketika aku membuka pintu, tak ada seorangpun yang bisa tersorot oleh jangkauan mataku. Anak-anak liar kurang kerjaan yang selalu melakukan hal itu. Selalu memainkan bel pintu rumahku, berharap adikku yang membuka pintu. Aku pikir mereka tertarik dengan kecantikan adikku dan santunnya yang sangat luar biasa. Tak hayal dia menjadi bunga desa di daerahku. Bahkan adikku tidak kalah baiknya dengan sosok Ibuku.
Ahh.. Lebih baik aku melanjutkan perjalananku menuju pulau kasur.
Suatu malam yang indah, dihiasi berjuta bintang laksana berlian dalam kotak hitam, bersinar dalam gelap. Para serigala dengan gagahnya menggonggong menambah riuhnya malam ini. Dan gemanya semakin memekikkan telinga. Sudah biasa memang suara-suara dari lereng di belakang rumahku. Seperti panggilan jiwa, aku bertapa dengan kesunyian di belakang rumah, menikmati seruan-seruan serigala dan jangkrik yang berdendang mengikuti irama sang kodok. Serta desahan bambu-bambu apus yang bergesekan oleh angin dan lambaian daun-daun hijau nan lebat karena kepakan kelelawar. Pun terdengar aliran air terjun yg gemercik menenangkan pikiran, ngelangutkan jiwa. Sebuah meditasi yang menjadi sebuah rutinitas. Menyatu dengan alam, bersenggama dengan dinginnya malam menghadirkan inspirasi untukku. Tapi kali ini aku merasa ada yang janggal. Entah kenapa, aku memikirkan suatu hal buruk-yang sebenarnya semua orang tak mengingkannya-yang bakal menghujam keindahan malam beserta komponennya.
Musim kemarau! Musim tak besahabat, selalu mendatangkan derita. Hanya sebagian dari mereka yang membawa kebahagiaan. Ini kabar buruk. Tak sedikit yang mengeluh atas kedatangannya. Hewan-hewan di lereng bukit, di rimba, di sungai, bahkan pohon tua yang bahkan umurnya 100 tahun lebih tua dari aku, turut menderita. Taman bunga di samping rumahku pun akan menjadi tempat sampah bagi bunga-bunga yang tak sedap lagi baunya. Bukan sebatas kabar angin lagi.
Ternyata ketakutanku berbuah nyata. Malam ini juga ku dapati dua buah tangkai mawar putih yang-dulu-indah menawan. Mereka mereka cantik seperti bibir pantai dengan pasir putihnya. Lengkap dengan harumnya yang mewangi, selengkap senja jingga di pesisir pantai dengan gadis-gadis pantai yang seksi dan mereka sama-sama menggoda untuk dinikmati. Bukan ditiduri. Tapi sayang, kemarau menyambut. Itu berarti badai mendung menyelimuti seantero pantai. Bunga-bunga itu kekurangan air sebagai sumber kehidupannya. Kemarau serta-merta menghunus taman tempat tinggal mereka dengan memanfaatkan tajamnya sinar mentari.
Dua orang gadis berlarian dari titik yang sama. Dengan nafas yang tersengal-sengal mereka berusaha mendekatiku. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Mereka kelelahan pada beberapa detik setelah mereka memulai lari. Akhirnya aku dengan penasaran bersedia menghampiri mereka di suatu tempat nan gersang. Aku tak terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tapi ini pernah hadir dalam mimpiku. Apakah ini yang dinamakan kemarau? Hmm.. Mungkin iya. Aku tak bisa begitu saja mengamini. Layaknya seorang detektif, aku mencoba melakukan penelaahan pada keadaan.
"Bolehkah aku tahu, apa yang terjadi pada kalian? Kalian tampak pucat pasi. Seperti ada yang mengusik kehidupan kalian." aku mulai bertanya tentang kondisi mereka yang-sepertinya-tertindas.
Dengan tergeragap mereka membuka mulut, "aa..aku butuh air, lagi!" erang gadis pertama yang ternyata Seroja namanya.
"Ddddaann aku, mencarinya" lanjut Anggrek Putih.
Aku terkejut atas jawaban mereka. Dan langsung menerka, apakah ini kemarau? Tapi mengapa yang lain tak ada? Mengapa hanya mereka berdua yang mengais tertindih? Tidak! Ini bukan kemarau! Dalam hati aku berontak, karena aku tak ingin kemarau mengerabik duniaku. Lalu aku menanyakan lagi:
"Kau tak terserang kemarau, 'kan?!" Aku butuh penguatan bahwa ini bukan kemarau. Sekali lagi aku menanyakan pada Anggrek Putih.
"Aku tak tahu, ini pembagian waktu oleh alam. Aku dan Seroja tak pernah tahu tentang ini. Yang kami tahu hanyalah, kaami semua menderita" terang Anggrek Putih dengan lancar setelah ku beri sebotol air mineral yang selalu ku bawa kemana-mana.
"Astaga.." mulutku ternganga dan badanku yang jongkok ambruk ke belakang.
"Apa itu kemarau?" tanya Seroja polos.
Tampaknya mereka tak tahu apa itu kemarau. Aku diam saja. Aku tak kuasa berkata lagi. Aku hanya ingin menolong mereka dari marabahaya ini.
Perbincangan sunyi sejenak. Suara kami mengambang di udara. Malam kian larut dan keji terasa oleh sang bayu. Kini, sang bayu berkuasa penuh pada malam. Sementara sang surya pada pagi esok. Keangkuhan mereka sama. Otoriter pada alam. Yang membedakan mereka hanyalah pembagian waktu langit. Pagi dan malam.
Aku beranjak dari percakapan bisu ini. Berlari ke pongsu, bukit kecil dekat lereng gunung. Ku tatap ke barat, tak ada serigala menggonggong dengan sangar. Ku alihkan pandangku ke timur, tak ada rimba lebat akan pepohonan. Sekarang mataku melirik ke selatan, rumahku tak terlihat gersang. Lalu aku menggeser mataku ke utara, yang ku dapati hanyalah Seroja dan Anggrek Putih yang gemang.
"TIDAAAAAAAAAAKK!!!" aku berteriak seakan menggantikan posisi serigala beringas disusul air mataku yang mulai membasahi pipiku. Aku berlari mendekati Seroja dan Anggrek Putih. Sekuat tenaga. Dan, yang kutemui adalah mereka layu dan mengering. Pada pandangku hanya mereka yang tersisa dalam gugur.
#Bagi mereka yang gugur, adalah mereka yang patah arang oleh problematika kehidupan. Masih ada asa untuk bangkit. Serahkan pada Tuhan. Dan waktu kan bicara bawa takdirnya. Tetap semangat!
-110111-
Andrall Intrakta DC
09:19
"Jam segini masih saja ada tamu, siapakah gerangan?" pikirku dalam keadaan setengah sadar.
Dan bayangan melambung tinggi, "Stolen in 60second". Kira-kira game itulah yang ada di otakku ketika mengira-ngira siapa tamu yang menunda mimpiku. Sial! Ketika aku membuka pintu, tak ada seorangpun yang bisa tersorot oleh jangkauan mataku. Anak-anak liar kurang kerjaan yang selalu melakukan hal itu. Selalu memainkan bel pintu rumahku, berharap adikku yang membuka pintu. Aku pikir mereka tertarik dengan kecantikan adikku dan santunnya yang sangat luar biasa. Tak hayal dia menjadi bunga desa di daerahku. Bahkan adikku tidak kalah baiknya dengan sosok Ibuku.
Ahh.. Lebih baik aku melanjutkan perjalananku menuju pulau kasur.
Suatu malam yang indah, dihiasi berjuta bintang laksana berlian dalam kotak hitam, bersinar dalam gelap. Para serigala dengan gagahnya menggonggong menambah riuhnya malam ini. Dan gemanya semakin memekikkan telinga. Sudah biasa memang suara-suara dari lereng di belakang rumahku. Seperti panggilan jiwa, aku bertapa dengan kesunyian di belakang rumah, menikmati seruan-seruan serigala dan jangkrik yang berdendang mengikuti irama sang kodok. Serta desahan bambu-bambu apus yang bergesekan oleh angin dan lambaian daun-daun hijau nan lebat karena kepakan kelelawar. Pun terdengar aliran air terjun yg gemercik menenangkan pikiran, ngelangutkan jiwa. Sebuah meditasi yang menjadi sebuah rutinitas. Menyatu dengan alam, bersenggama dengan dinginnya malam menghadirkan inspirasi untukku. Tapi kali ini aku merasa ada yang janggal. Entah kenapa, aku memikirkan suatu hal buruk-yang sebenarnya semua orang tak mengingkannya-yang bakal menghujam keindahan malam beserta komponennya.
Musim kemarau! Musim tak besahabat, selalu mendatangkan derita. Hanya sebagian dari mereka yang membawa kebahagiaan. Ini kabar buruk. Tak sedikit yang mengeluh atas kedatangannya. Hewan-hewan di lereng bukit, di rimba, di sungai, bahkan pohon tua yang bahkan umurnya 100 tahun lebih tua dari aku, turut menderita. Taman bunga di samping rumahku pun akan menjadi tempat sampah bagi bunga-bunga yang tak sedap lagi baunya. Bukan sebatas kabar angin lagi.
Ternyata ketakutanku berbuah nyata. Malam ini juga ku dapati dua buah tangkai mawar putih yang-dulu-indah menawan. Mereka mereka cantik seperti bibir pantai dengan pasir putihnya. Lengkap dengan harumnya yang mewangi, selengkap senja jingga di pesisir pantai dengan gadis-gadis pantai yang seksi dan mereka sama-sama menggoda untuk dinikmati. Bukan ditiduri. Tapi sayang, kemarau menyambut. Itu berarti badai mendung menyelimuti seantero pantai. Bunga-bunga itu kekurangan air sebagai sumber kehidupannya. Kemarau serta-merta menghunus taman tempat tinggal mereka dengan memanfaatkan tajamnya sinar mentari.
Dua orang gadis berlarian dari titik yang sama. Dengan nafas yang tersengal-sengal mereka berusaha mendekatiku. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Mereka kelelahan pada beberapa detik setelah mereka memulai lari. Akhirnya aku dengan penasaran bersedia menghampiri mereka di suatu tempat nan gersang. Aku tak terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tapi ini pernah hadir dalam mimpiku. Apakah ini yang dinamakan kemarau? Hmm.. Mungkin iya. Aku tak bisa begitu saja mengamini. Layaknya seorang detektif, aku mencoba melakukan penelaahan pada keadaan.
"Bolehkah aku tahu, apa yang terjadi pada kalian? Kalian tampak pucat pasi. Seperti ada yang mengusik kehidupan kalian." aku mulai bertanya tentang kondisi mereka yang-sepertinya-tertindas.
Dengan tergeragap mereka membuka mulut, "aa..aku butuh air, lagi!" erang gadis pertama yang ternyata Seroja namanya.
"Ddddaann aku, mencarinya" lanjut Anggrek Putih.
Aku terkejut atas jawaban mereka. Dan langsung menerka, apakah ini kemarau? Tapi mengapa yang lain tak ada? Mengapa hanya mereka berdua yang mengais tertindih? Tidak! Ini bukan kemarau! Dalam hati aku berontak, karena aku tak ingin kemarau mengerabik duniaku. Lalu aku menanyakan lagi:
"Kau tak terserang kemarau, 'kan?!" Aku butuh penguatan bahwa ini bukan kemarau. Sekali lagi aku menanyakan pada Anggrek Putih.
"Aku tak tahu, ini pembagian waktu oleh alam. Aku dan Seroja tak pernah tahu tentang ini. Yang kami tahu hanyalah, kaami semua menderita" terang Anggrek Putih dengan lancar setelah ku beri sebotol air mineral yang selalu ku bawa kemana-mana.
"Astaga.." mulutku ternganga dan badanku yang jongkok ambruk ke belakang.
"Apa itu kemarau?" tanya Seroja polos.
Tampaknya mereka tak tahu apa itu kemarau. Aku diam saja. Aku tak kuasa berkata lagi. Aku hanya ingin menolong mereka dari marabahaya ini.
Perbincangan sunyi sejenak. Suara kami mengambang di udara. Malam kian larut dan keji terasa oleh sang bayu. Kini, sang bayu berkuasa penuh pada malam. Sementara sang surya pada pagi esok. Keangkuhan mereka sama. Otoriter pada alam. Yang membedakan mereka hanyalah pembagian waktu langit. Pagi dan malam.
Aku beranjak dari percakapan bisu ini. Berlari ke pongsu, bukit kecil dekat lereng gunung. Ku tatap ke barat, tak ada serigala menggonggong dengan sangar. Ku alihkan pandangku ke timur, tak ada rimba lebat akan pepohonan. Sekarang mataku melirik ke selatan, rumahku tak terlihat gersang. Lalu aku menggeser mataku ke utara, yang ku dapati hanyalah Seroja dan Anggrek Putih yang gemang.
"TIDAAAAAAAAAAKK!!!" aku berteriak seakan menggantikan posisi serigala beringas disusul air mataku yang mulai membasahi pipiku. Aku berlari mendekati Seroja dan Anggrek Putih. Sekuat tenaga. Dan, yang kutemui adalah mereka layu dan mengering. Pada pandangku hanya mereka yang tersisa dalam gugur.
#Bagi mereka yang gugur, adalah mereka yang patah arang oleh problematika kehidupan. Masih ada asa untuk bangkit. Serahkan pada Tuhan. Dan waktu kan bicara bawa takdirnya. Tetap semangat!
-110111-
Andrall Intrakta DC
09:19
kren tuh puisi,
BalasHapustrus berkarya brooo.
w dukung u trus..